KAIDAH PENILAIAN EKONOMI SYARIAH
Akad-akad
yang disediakan dalam fikih muamalah adalah akad-akad yang berbasis syariah.
Dengan demikian, wajib mengikuti prinsip dan kaidah yang telah diatur dalam
syariah. Salah satu prinsip akad yang diatur dalam syariah adalah mengenai
niat. Setiap akad wajib dibangun di atas satu niat dan harus konsisten pada
niatnya sejak awal sampai selesainya proses akad.
Syariah
tidak membenarkan dua niat atau lebih untuk semua amal, baik ibadah maupun
muamalah. Oleh karena itu, pada setiap memulai akad, pelaku akad harus
menentukan apakah ia bermaksud tijari (bisnis) atau bermaksud tabarru’
(menolong). Keharusan akad konsisten pada satu niat saja, merupakan aplikasi
dari prinsip tauhid. Prinsip tauhid merupakan prinsip yang paling fundamental
(paling asasi) dalam syariat Islam. Oleh karena itu, dua niat dalam satu akad,
yakni berniat tijari dan sealigus berniat tabarru’ melanggar prinsip
tauhid, karena niatnya mendua. Hal ini dalam ajaran tauhid disebut musyrik.
Disamping itu, dua niat demikian itu dalam ajaran akhlak disebut niatnya tidak
ihklash atau tidak murni.
Sebelum melakukan proses akad,
terlebih dahulu penting dipahami alur penentuan akad untuk menentukan keabsahan
hasil dari akad tersebut. Adapun alur penetuan akad mengacu pada kaidah dasar
alur proses akad, sebagai berikut:
Kaidah Dasar Alur Proses
Akad
(1) NIAT: Tentukan apa maksud yang dikehendaki oleh para subjek akad? 1. Apakah bermaksud bisnis (tijari) atau menolong (tabarru’)? 2. Apakah untuk keperluan konsumtif atau produktif? 3. Kalau untuk tijari (bisnis), maka pilih salah satu
akad pokok tijari yang cocok; al-bai’, ijarah, atau musyarakah 4. Kalau untuk tabarru’ (menolong), pilih salah satu
akad pokok tabarru’ yang cocok; al-qard,
al-‘ariyah, al-shadaqah, al-infaq, al-zakat, al-waqf, al-hibah, atau lainnya (3) RUKUN dan SYARAT: 1. Rukun dan syarat-syarat akad pokok dan akad tambahan yang
digunakan harus terpenuhi secara keseluruhan. 2. Boleh dibuat syarat
tambahan/khusus yang disepakati dan diperjanjikan bersama (ta’lik
atau klausula akad) sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram. (4) PROSES: 1. Proses pelaksanaan akad yang telah disepakati wajib berdasar
pada kaidah pembentukan akad serta rukun dan syarat-syarat akad. 2. Pelaksanaan akad wajib mematuhi perjanjian yang telah
disepakati dalam akad dengan i’tikad
baik, jujur, adil, bertanggungjawab. (5) KEABSAHAN: 1.
Jika mulai dari niat,
penentuan akad, rukun dan syarat sampai pada proses pelaksanaan akad terpenuhi
secara lengkap, setiap unsur memiliki hubungan fungsional dan berproses
secara hirarkis, maka hasilnya sah dan pendapatannya halal serta pelakunya
mendapat pahala. 2.
Jika ada penyimpangan,
kesalahan, atau pelanggaran pada niat, penentuan akad, rukun, syarat, dan
atau proses, maka hasilnya bathil dan pelakunya berdosa. (2) AKAD: 1. Sepakati satu saja akad pokoknya, dan kalau diperlukan boleh
disertai dengan satu atau beberapa akad tambahan. 2. Boleh dibuat modifikasi
akad yang menghasilkan model akad yang spesifik.
Untuk menilai
besaran prosentase kesyariahan suatu praktik akad, maka dapat dibuat Rumus Skala
Kuantitatif Sederhana (RSKS) sebagai berikut:
Teori Nilai Kesyariahan Akad (TNKA)
NO |
UNSUR |
NILAI % |
1 |
Kebenaran Niat |
25 |
2 |
Kebenaran Akad |
25 |
3 |
Kebenaran Rukun
dan Syarat |
25 |
4 |
Kebenaran Proses |
25 |
5 |
Keabsahan (Merupakan jumlah dari 4 unsur di atas) |
100 |
Misalnya uji nilai
kesyariahan akad MMQ (musyarakah mutanaqisah). Berdasarkan kajian
diketahui bahwa:
1.
Maksud (niat) para pihak melakukan akad diketahui adalah untuk
mengelola suatu usaha yang produktif
2.
Akad pokok yang dipilih untuk digunakan adalah akad musyarakah
(kerjasama bagi hasil).
3.
Rukun dan syarat-syarat musyarakah tidak digunakan secara konsisten.
4.
Proses pelaksanaan akad menyimpang dari rukun dan
syarat-syarat musyarakah.
5.
Dengan demikian keabsahan akad tidak terwujud.
Berdasarkan hasil
kajian tersebut di atas, secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa penggunaan
akad MMQ belum sesuai dengan prinsip syariah. Jika kesimpulan tersebut
dikonversi ke Skala Kuantitatif Sederhana (RSKS) dengan menggunakan Teori Nilai
Kesyariahan Akad (TNKA), maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Nilai Kesyariahan Pelaksanaan Akad MMQ
NO |
UNSUR |
TERPENUHI |
NILAI % |
1 |
Kebenaran Niat |
Ö |
25 |
2 |
Kebenaran Akad |
Ö |
25 |
3 |
Kebenaran Rukun dan
Syarat |
X |
0 |
4 |
Kebenaran Proses |
X |
0 |
5 |
Keabsahan (Merupakan jumlah dari 4 unsur di atas) |
50 % |
Hasil : Nilai kesyariahan
pelaksanaan akad MMQ adalah 50%, artinya dalam proses pelaksanaan akad MMQ
masih perlu dibenahi agar benar-benar memenuhi 100% prinsip-prinsip syariah
yaitu prinsip keadilan (al-‘adalah), kebenaran (al-shidq),
kejujuran (al-amanah) dan transparansinya (al-tabliq), serta
memenuhi kaidah-kaidah penggunaan akad dalam fikih muamalah maliyah.
Agar penggunaan akad MMQ dapat memenuhi 100%
prinsip-prinsip syariah, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
1)
Hasil yang
diterima oleh anggota kongsi (nasabah
dan bank) jelas berupa pendapatan yang nyata (riil).
2)
Hasil yang
diterima oleh anggota kongsi (nasabah
dan bank) sama
wujudnya,
adil, benar dan transparan.
3)
Jika usaha yang
dilakukan berupa penyewaan objek, misalnya rumah, maka cara menghitung
keuntungan yg akan dibagi adalah
memposisikan pihak penyewa sebagai pihak ketiga dan besaran sewa yang dikenakan
adalah sesuai harga pasar berbasis lokasi dan kawasan serta tipe dan fasilitas
rumah.
4)
Metode penentuan
tarif angsuran per bulan (pricing ) yg digunakan dalam akad MMQ harus
benar-benar memenuhi prinsip syariah (adil, benar, jujur dan transparan/tabliq).
Sebagai contoh jika sebuah rumah dibeli dengan
menggunakan akad MMQ oleh bank
dan nasabah kemudian
rumah tersebut diproduktifkan dengan cara disewakan kepada nasabah sebesar Rp. 2.000.000
per bulan,
maka cara menentukan bagi hasil dan besaran tarif angsuran per bulan (pricing)
yang akan dibayar nasabah ke bank
adalah sebagai berikut:
NO |
ANGSURAN PERBULAN |
|||
BAGI HASIL
PENDAPATAN DARI USAHA SEWA
UNTUK |
PENGEMBALIAN MODAL (B) |
JUMLAH (A+B) |
||
|
BANK (A) |
NASABAH |
|
|
1 |
1.000.000 |
1.000.000 |
2.000.000 |
3.000.000 |
2 |
900.000 |
1.100.000 |
2.000.000 |
2.900.000 |
3 |
800.000 |
1.200.000 |
2.000.000 |
2.800.000 |
4 |
700.000 |
1.300.000 |
2.000.000 |
2.700.000 |
5 |
600.000 |
1.400.000 |
2.000.000 |
2.600.000 |
6 |
500.000 |
1.500.000 |
2.000.000 |
2.500.000 |
7 |
400.000 |
1.600.000 |
2.000.000 |
2.400.000 |
8 |
300.000 |
1.700.000 |
2.000.000 |
2.300.000 |
9 |
200.000 |
1.800.000 |
2.000.000 |
2.200.000 |
10 |
100.000 |
1.900.000 |
2.000.000 |
2.100.000 |
11 |
0 |
2.000.000 |
2.000.000 |
2.000.000 |
Dst. |
|
|
|
|
Jumlah: |
Rp. ……… |
Rp. ……….……. |
Rp. ……………. |
Rp. ……… |
Ketentuan
:
1.
Tarif sewa
sebagai pendapatan dari usaha kerjasama bagi hasil (MMQ) harus sesuai dengan
besaran standar rata-rata sewa di pasar di lokasi tempat rumah.
2.
Besaran sewa
rumah yang ditetapkan harus sama ketika rumah disewa oleh nasabah kongsi bank
(pihak kedua) atau pun ketika rumah disewa oleh pihak lain (pihak ketiga).
3.
Jumlah angsuran
pengembalian modal perbulan sesuai
kesepakatan dengan memperhitungkan total modal bank dapat lunas di akhir akad
(kontrak).
4.
Pendapatan bagi
hasil untuk bank
dan nasah sesuai
perbandingan modal masing-masing (proporsional).
5.
Pendapatan bagi
hasil untuk bank
dan nasah harus dapat
dihitung secara tepat dan jelas. Oleh karena itu, untuk mencapai hal ini maka
pendapatan bagi hasil untuk pihak bank
dan nasabah harus sama
wujudnya, misalnya sama-sama berbentuk uang.
6.
Seiring dengan
berkurangnya kepemilikan modal bank,
maka bagi hasilnya juga berkurang secara proporsional.
7. Seiring
dengan bertambahnya kepemilikan modal nasabah, maka bagi hasilnya juga
bertambah secara proporsional