Selasa, 20 Februari 2024

 KAIDAH PENILAIAN EKONOMI SYARIAH

Akad-akad yang disediakan dalam fikih muamalah adalah akad-akad yang berbasis syariah. Dengan demikian, wajib mengikuti prinsip dan kaidah yang telah diatur dalam syariah. Salah satu prinsip akad yang diatur dalam syariah adalah mengenai niat. Setiap akad wajib dibangun di atas satu niat dan harus konsisten pada niatnya sejak awal sampai selesainya proses akad.

Syariah tidak membenarkan dua niat atau lebih untuk semua amal, baik ibadah maupun muamalah. Oleh karena itu, pada setiap memulai akad, pelaku akad harus menentukan apakah ia bermaksud tijari (bisnis) atau bermaksud tabarru’ (menolong). Keharusan akad konsisten pada satu niat saja, merupakan aplikasi dari prinsip tauhid. Prinsip tauhid merupakan prinsip yang paling fundamental (paling asasi) dalam syariat Islam. Oleh karena itu, dua niat dalam satu akad, yakni berniat tijari dan sealigus berniat tabarru’ melanggar prinsip tauhid, karena niatnya mendua. Hal ini dalam ajaran tauhid disebut musyrik. Disamping itu, dua niat demikian itu dalam ajaran akhlak disebut niatnya tidak ihklash atau tidak murni.

Sebelum melakukan proses akad, terlebih dahulu penting dipahami alur penentuan akad untuk menentukan keabsahan hasil dari akad tersebut. Adapun alur penetuan akad mengacu pada kaidah dasar alur proses akad, sebagai berikut:

 

 

 

 

 

Kaidah Dasar Alur Proses Akad

 

(1)    NIAT:

Tentukan apa maksud yang dikehendaki oleh para subjek akad?

1. Apakah bermaksud bisnis (tijari) atau menolong (tabarru’)?

2. Apakah untuk keperluan konsumtif atau produktif?

3. Kalau untuk tijari (bisnis), maka pilih salah satu akad pokok tijari yang cocok; al-bai’, ijarah, atau musyarakah

4. Kalau untuk tabarru’ (menolong), pilih salah satu akad pokok tabarru’ yang cocok; al-qard, al-‘ariyah, al-shadaqah, al-infaq, al-zakat, al-waqf, al-hibah, atau lainnya

(3)  RUKUN dan SYARAT:

1. Rukun dan syarat-syarat akad pokok dan akad tambahan yang digunakan harus terpenuhi secara keseluruhan.

2.  Boleh dibuat syarat tambahan/khusus yang disepakati dan diperjanjikan bersama (ta’lik atau klausula akad) sepanjang tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

(4) PROSES:

1. Proses pelaksanaan akad yang telah disepakati wajib berdasar pada kaidah pembentukan akad serta rukun dan syarat-syarat akad.

2. Pelaksanaan akad wajib mematuhi perjanjian yang telah disepakati dalam  akad dengan i’tikad baik, jujur, adil, bertanggungjawab.

(5) KEABSAHAN:

1.    Jika mulai dari niat, penentuan akad, rukun dan syarat sampai pada proses pelaksanaan akad terpenuhi secara lengkap, setiap unsur memiliki hubungan fungsional dan berproses secara hirarkis, maka hasilnya sah dan pendapatannya halal serta pelakunya mendapat pahala.

2.    Jika ada penyimpangan, kesalahan, atau pelanggaran pada niat, penentuan akad, rukun, syarat, dan atau proses, maka hasilnya bathil dan pelakunya berdosa.

(2)  AKAD:

1. Sepakati satu saja akad pokoknya, dan kalau diperlukan boleh disertai dengan satu atau beberapa akad tambahan.

2.  Boleh dibuat modifikasi akad yang menghasilkan model akad yang spesifik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Untuk menilai besaran prosentase kesyariahan suatu praktik akad, maka dapat dibuat Rumus Skala Kuantitatif Sederhana (RSKS) sebagai berikut:

Teori Nilai Kesyariahan Akad (TNKA)

NO

UNSUR

NILAI %

1

Kebenaran Niat

25

2

Kebenaran Akad

25

3

Kebenaran Rukun dan Syarat

25

4

Kebenaran Proses

25

5

Keabsahan (Merupakan jumlah dari 4 unsur di atas)

100

Misalnya uji nilai kesyariahan akad MMQ (musyarakah mutanaqisah). Berdasarkan kajian diketahui bahwa:

1.     Maksud (niat) para pihak melakukan akad diketahui adalah untuk mengelola suatu usaha yang produktif

2.     Akad pokok yang dipilih untuk digunakan adalah akad musyarakah (kerjasama bagi hasil).

3.     Rukun dan syarat-syarat musyarakah  tidak digunakan secara konsisten.

4.     Proses pelaksanaan akad menyimpang dari rukun dan syarat-syarat musyarakah.

5.     Dengan demikian keabsahan akad tidak terwujud.

Berdasarkan hasil kajian tersebut di atas, secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa penggunaan akad MMQ belum sesuai dengan prinsip syariah. Jika kesimpulan tersebut dikonversi ke Skala Kuantitatif Sederhana (RSKS) dengan menggunakan Teori Nilai Kesyariahan Akad (TNKA), maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Nilai Kesyariahan Pelaksanaan Akad MMQ

NO

UNSUR

TERPENUHI

NILAI %

1

Kebenaran Niat

Ö

25

2

Kebenaran Akad

Ö

25

3

Kebenaran Rukun dan Syarat

X

0

4

Kebenaran Proses

X

0

5

Keabsahan (Merupakan jumlah dari 4 unsur di atas)

50 %

Hasil : Nilai kesyariahan pelaksanaan akad MMQ adalah 50%, artinya dalam proses pelaksanaan akad MMQ masih perlu dibenahi agar benar-benar memenuhi 100% prinsip-prinsip syariah yaitu prinsip keadilan (al-‘adalah), kebenaran (al-shidq), kejujuran (al-amanah) dan transparansinya (al-tabliq), serta memenuhi kaidah-kaidah penggunaan akad dalam fikih muamalah maliyah.

Agar penggunaan akad MMQ dapat memenuhi 100% prinsip-prinsip syariah, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1)    Hasil yang diterima oleh anggota kongsi (nasabah dan bank) jelas berupa pendapatan yang nyata (riil).

2)    Hasil yang diterima oleh anggota kongsi (nasabah dan bank) sama wujudnya, adil, benar dan transparan.

3)    Jika usaha yang dilakukan berupa penyewaan objek, misalnya rumah, maka cara menghitung keuntungan yg  akan dibagi adalah memposisikan pihak penyewa sebagai pihak ketiga dan besaran sewa yang dikenakan adalah sesuai harga pasar berbasis lokasi dan kawasan serta tipe dan fasilitas rumah.

4)    Metode penentuan tarif angsuran per bulan (pricing ) yg digunakan dalam akad MMQ harus benar-benar memenuhi prinsip syariah (adil, benar, jujur dan transparan/tabliq).

Sebagai contoh jika sebuah rumah dibeli dengan menggunakan akad MMQ oleh bank dan nasabah kemudian rumah tersebut diproduktifkan dengan cara disewakan kepada nasabah sebesar Rp. 2.000.000 per bulan, maka cara menentukan bagi hasil dan besaran tarif angsuran per bulan (pricing) yang akan dibayar nasabah ke bank adalah sebagai berikut:

NO

ANGSURAN PERBULAN

BAGI HASIL PENDAPATAN DARI

USAHA SEWA UNTUK

PENGEMBALIAN

MODAL (B)

JUMLAH (A+B)

 

BANK (A)

NASABAH

 

 

1

1.000.000

1.000.000

2.000.000

3.000.000

2

900.000

1.100.000

2.000.000

2.900.000

3

800.000

1.200.000

2.000.000

2.800.000

4

700.000

1.300.000

2.000.000

2.700.000

5

600.000

1.400.000

2.000.000

2.600.000

6

500.000

1.500.000

2.000.000

2.500.000

7

400.000

1.600.000

2.000.000

2.400.000

8

300.000

1.700.000

2.000.000

2.300.000

9

200.000

1.800.000

2.000.000

2.200.000

10

100.000

1.900.000

2.000.000

2.100.000

11

0

2.000.000

2.000.000

2.000.000

Dst.

 

 

 

 

Jumlah:

   Rp. ………

    Rp. ……….…….

Rp. …………….

Rp. ………

 

 

Ketentuan :

1.     Tarif sewa sebagai pendapatan dari usaha kerjasama bagi hasil (MMQ) harus sesuai dengan besaran standar rata-rata sewa di pasar di lokasi tempat rumah.

2.     Besaran sewa rumah yang ditetapkan harus sama ketika rumah disewa oleh nasabah kongsi bank (pihak kedua) atau pun ketika rumah disewa oleh pihak lain (pihak ketiga).

3.     Jumlah angsuran pengembalian modal  perbulan sesuai kesepakatan dengan memperhitungkan total modal bank dapat lunas di akhir akad (kontrak).

4.     Pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasah sesuai perbandingan modal masing-masing (proporsional).

5.     Pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasah harus dapat dihitung secara tepat dan jelas. Oleh karena itu, untuk mencapai hal ini maka pendapatan bagi hasil untuk pihak bank dan nasabah harus sama wujudnya, misalnya sama-sama berbentuk uang.

6.     Seiring dengan berkurangnya kepemilikan modal bank, maka bagi hasilnya juga berkurang secara proporsional.

7.     Seiring dengan bertambahnya kepemilikan modal nasabah, maka bagi hasilnya juga bertambah secara proporsional