A. Akar Sejarah Akad Muamalah Maliyah
Sejarah muamalah manusia sejak Nabi Adam as
sampai sekarang telah melalui masa yang cukup lama. Dari karakter manusia
sebagai makhluk sosial, maka kuat dugaan bahwa sejak awal manusia pra sejarah
telah melakukan kegiatan muamalah dalam pengertian melakukan interaksi
(hubungan kerja) anta satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
yang pada masa itu masih sangat sederhana sesuai kondisi peradaban yang ada.
Sejak awal manusia hidup membentuk kelompok untuk saling membantu dan bekerja
sama melawan binatang buas atau kelompok lain yang sewaktu-waktu dapat
menyerang mereka.
Kehidupan masyarakat primitif dalam mempertahankan
hidupnya terbimbing oleh fitrahnya sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu,
mereka senantiasa membentuk kelompok-kelompok, mulai dari kelompok kecil sampai
(kelompok satu rumpun keturunan/keluarga) sampai kelompok besar (kelompok
komunitas satu daerah, suku/ras, atau
bangasa).
Pola hidup berkelompok itulah yang pada
gilirannya menjadi sarana kerja sama yang efektif dalam memenuhi dan
mempertahankan hidup mereka. Dari perjalanan sejarah panjang dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, setidaknya dapat dipetakan secara
garis dua model terkuno bentuk muamalah manusia dalam memenuhi kebutuhan
materialnya, yaitu:
1. Kerjasama bagi hasil (syirkah)
Kerjasama bagi hasil merupakan bentuk muamalah
pertama dan tertua yang pernah dilakukan dalam sejarah panjang peradaban
manusia sebelum ditemukannya bentuk muamalah yang lain. Kerjasama bagi hasil
pada masa awal diwujudkan dalam pola keja dengan sistem meramu (mencari dan
mengumpulkan bahan makanan untuk dikonsumsi bersama). Sistem meramu merupakan
pola kerjasama tertua yang pernah dilakukan manusia. Dalam sistem kerjasama ini
sekelompok orang bekerja mencari bahan makanan dari hutan dari jenis tumbuhan,
buah-buahan, maupun binatang buruan. Siapapun dari kelompok tersebut yang
mendapatkan makanan dari hutan atau binatang buruan yang ditangkap bersama akan
dibawa pulang atau langsung dimakan bersama oleh kelompok tersebut. Akad
kerjasama yang digunakan dalam sistem meramu ini adalah akad sukuti atau akad bi al- mua'¯at, yaitu akad yang terjadi
dengan saling pengertian dan langsung diwujudkan dengan perbuatan, tanpa harus
dilafazkan secara lisan atau tulisan terlebih dahulu. Sedangkan bentuk bagi
hasilnya adalah diwujudkan dengan cara saling berbagi untuk semua anggota
kelompok dalam menikmati hasil yang didapatkan tanpa harus ditentukan porsi
(bagian) masing-masing dengan sama banyak. Mereka rela mendapatkan bagian yang
berlebih kurang tanpa harus diukur agar persis sama.
Pola kerjasama seperti itu memang wajar pada
masa itu, mengingat tingkat perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan ketika
itu masih sangat terbatas. Namun dapat dipahami, bahwa dalam pola hidup dengan
sistem meramu terdapat kerjasama bagi hasil yang substansinya sama dengan sistem
bagi hasil yang berkembang saat ini, yang berbeda hanya model-model bentuk
modifikasinya. Kesamaan substansinya adalah terletak pada acuan yang sama
merujuk pada sistem kerja yang dikenal saat ini dengan istilah “teori percampuran”.
Kerjasama sistem meramu mencampurkan kerja dengan kerja (syirkah abdan). Saat ini teori percampuran (syirkah atau musyarakah)
telah dikembangkan dan dan dibagi kedalam beberapa bentuk, salah satunya adalah syirkah abdan itu sendiri.
2. Jual beli (al-bai’)
Bentuk muamalah tertua kedua yang muncul
setelah kerjasama bagi hasil (syirkah)
adalah jual beli. Dari sejarah perkembangan sistem jual beli, dapat dibagi ke
dalam lima fase perkembangan, yaitu:
a.
Fase jual beli barter
b.
Fase jual beli dengan menggunakan uang barang
c.
Fase jual beli dengan menggunakan uang logam
d.
Fase jual beli dengan menggunakan uang kertas
e.
Fase jual beli dengan menggunakan kartu plastik
Jual beli termasuk salah satu bentuk muamalah
maliyah dalam teori pertukaran. Oleh karena dalam berjualbeli terjadi
pertukaran materi dengan materi (māl bi māl),
baik secara langsung barang produk dengan barang produk (barter), maupun
melalui perantara alat tukar (uang).
Sistem jual beli merupakan kegiatan muamalah
yang sangat urgen bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh
karena itu, sistem jual beli termasuk kegiatan pokok dan wilayah muamalah
(bisnis) yang sangat luas dipraktikkan setiap hari. Sejak manusia mengalami
perkembangan sampai saat ditemukan dan dibutuhkannya sistem jual beli, kegiatan
ini menjadi kegiatan kunci dalam distribusi hasil-hasil produksi manusia.
Kegiatan jual beli merupakan kegiatan ekonomi terbesar yang dilakukan manusia
di dunia.
3. Upah-mengupah (ijarah)
Upah mengupah merupakan kegiatan muamalah
maliyah tertua ketiga yang muncul dalam sejarah peradaban manusia. Kegiatan ini
semula dipraktikkan hanya dalam satu bentuk, yaitu menukar jasa dari kerja
dengan materi (upah). Oleh karena itu, sistem ini juga termasuk bagian dari
teori pertukaran. Bedanya dengan jual beli adalah yang dipertukarkan dalam
sistem ini yaitu menukar jasa dengan materi, sementara dalam jual beli yang
dipertukarkan adalah materi dengan materi.
Seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan
muamalah, maka kemudian muncul sistem baru dari sistem ijarah (pertukaran jasa
dengan materi) yaitu sistem sewa. Sistem sewa dengan sistem upah memiliki
substasi yang sama yaitu sama-sama menukarkan non materi dengan materi. Oleh
karena itu, baik upah-mengupah maupun sewa-menyewa masuk dalam pengertian
ijarah.
Ketiga bentuk muamalah tersebut di atas
(syirkah, jual beli dan ijarah) muncul dalam peradaban manusia sebagai
kebutuhan mendasar yang bermanfaat bagi semua pihak. Dengan demikian,
prinsip-prinsip kerja yang tercakup di dalamnya merupakan kebutuhan mutlak yang
adil dan mendatangkan maslahah bagi semua pihak. Dengan dasar itu setiap bentuk
muamalah maliyah yang menyalahi prinsip keadilan dan kemaslahatan yang
dipolakan dalam ketiga sistem muamalah maliyah (bisnis) tersebut tidak dapat
dibenarkan dan tidak dapat diterima, karena pasti di dalamnya akan mengandung
unsur-unsur yang merugikan bagi pihak lain. Wujud kerugian yang timbul akibat
adanya pelanggaran dari prinsip-prinsip substasial dari ketiga pola kegiatan
bisnis itu terealisasi melalui bisnis yang mengandung unsur riba (pemerasan),
garar (penipuan), atau maisir (spekulasi).
Ketiga bentuk muamalah maliyah tersebut muncul
dalam sejarah peradaban manusia murni secara alami sesuai dengan nilai-nilai
luhur kodrat hajat manusia. Di dalamnya tidak terdapat unsur rekayasa negatif,
pemaksaan, dan manipulasi subjektif. Dengan demikian, prinsip-prinsip normatif
yang terdapat di dalamnya apabila diaplikasikan secara benar (apa adanya), maka
akan mendatangkan kemaslahatan umum yang sejalan dengan norma-norma ajaran
agama.
Pola-pola muamalah maliyah itulah yang
kemudian pada era sekarang dipetakan ke dalam dua grand teori yang dikenal
dengan istilah “teori percampuran” dan “teori pertukaran”. Apapun bentuk
muamalah tijari (bisnis) yang berkembang sekarang pasti dan harus dikembalikan
dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dikehendaki
oleh ketiga pola muamalah tersebut. Jika ternyata dalam praktiknya terdapat
ketidakselarasan atau ketidakrelevanan dengan salah satu dari ketiga pola
tersebut, maka dapat dipastikan bahwa di dalamnya terdapat unsur pelanggaran
yang berakibat munculnya kemudaratan bagi salah satu pihak yang melakukan akad
atau bagi pihak umum.
B. Kaedah-kaedah Pembentukan Multi Akad
Berdasarkan pada sejarah pembentukan akad maliyah tersebut
di atas, maka ada beberapa kaedah dasar yang harus dijadikan pedoman
dalam pembentukan multi akad. Jika salah satu atau beberapa unsur dari
kaedah-kaedah tersebut tidak terpenuhi, maka bentukan multi akad yang dibuat
tidak sah karena berimplikasi pada tiga kemungkinan yang dilarang dalam ekonomi
syariah, yakni; 1) riba; 2) garar dan; 3) maisir. Artinya, jika cara pembuatan
multi akad itu melenceng dari kaedah-kaedah tersebut, maka akan jatuh pada
model multi akad yang mengandung unsur yang dilarang secara tegas dalam ekonomi
syariah.
Penetapan kaedah-kaedah ini berguna bagi adanya pedoman yang unifikatif, pasti, dan praktis dalam mengatasi problema
kesemrautan pembuatan model-model multi akad selama ini karena tidak adanya kaedah-kaedah
yang dijadikan pedoman. Penggunaan kaedah dalam pembuatan multi akad menjadi
pedoman kepastian hukum agar dalam pembuatan transaksi multi akad tidak
dilakukan secara bebas tanpa batasan yang jelas.
Secara garis besarnya ada 2 (dua) fungsi utama
dari kaedah-kaedah multi akad, yaitu:
1.
Fungsi verifikatif
Fungsi verifikasi adalah sebagai pedoman dalam
memerifikasi/menilai model-model multi akad yang telah diaplikasikan selama
ini, baik yang dipraktikkan oleh lembaga keungan syariah maupun lembaga keungan
konvensional. Model-model multi akad dari kedua lembaga tersebut akan dinilai
secara jujur, adil, dan transparan. Asumsi awal dibangun dari persepsi yang
netral, bahwa kesyariahan suatu transaksi bukan terletak pada nama/label,
melainkan pada substansi akad dan prosesnya.
2.
Fungsi inovatif
Fungsi inovatif adalah sebagai pedoman dalam
membuat, memodifikasi, dan merumuskan suatu model multi akad yang sejalan
dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Fungsi kedua dari kaedah-kaedah multi
akad ini sesungguhnya lebih dinantikan perannya untuk menjawab tantangan para
ekonom konvensional yang selama ini menuntut agar ahli ekonomi syariah
menunjukkan kreasi baru dari ekonomi syariah yang murni tanpa harus mencontoh
model dari ekonomi konvensional.
Ketidakmampuan para ahli ekonomi syariah membuat
model multi akad baru tanpa harus mengekor pada ekonomi konvensional adalah
disebabkan belum ditemukannya pedoman pembuatan multi akad yang murni
dirumuskan dari norma-norma dan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
Penggunaan kaedah-kaedah dalam pembuatan
transaksi multi akad sangat urgen untuk menghindari spekulasi dan rekayasa yang
bermotif hīlah dalam rangka
menyiasati atau mengakal-akali ketentuan-ketentuan syariat untuk mencapai
tujuan. Hal ini banyak terjadi di lembaga keuangan syariah dengan mengkonversi
model transaksi multi akad konvensional yang dipraktikkan di lembaga keungan
non syariah (konvensional).
Kebebasan mencari-cari cara untuk sampai pada
suatu model transaksi yang pada esensinya proses yang ditimbulkan oleh model
multi akad tersebut sama saja dengan multi akad konvensional, karena yang
dilakukan hanyalah penggantian peristilahan (penamaan) atau pensyariahan nama,
namun substansi prosedur dan proses pengelolaan finansial dan produknya tetap
sama dengan model konvensional. Kritikan dari banyak kalangan selama ini yang
melihat lembaga keungan syariah hanya berbeda nama/label dengan lembaga keuangan non syariah memang
harus diakui jika penggunaan label syariah pada aplikasi akad-akadnya
mengadopsi model-model multi akad konvensional yang diganti peristilah-annya. Sebenarnya
kritikan itu muncul karena mereka tidak melihat adanya kaedah-kaedah yang
operasiol dan fungsional secara efektif untuk menjabarkan/mengamalkan
prinsip-prinsip ekonomi syariah yang terdapat dalam dalil-dalil nash.
Dasar yang digunakan oleh ekonom muslim selama
ini dalam membuat transaksi multi akad adalah hanya berdasar pada prinsip-prinsip
normatif yang belum dikaji secara mendalam untuk dirumuskan kaedah-kaedah
opersionalnya agar dapat berfungsi secara benar sesuai maqasid al-syaria’ah. Prinsip-prinsip ekonomi syariah yang masih
normatif tidak dapat langsung diamalkan tanpa terlebih dahulu dirumuskan
kaedah-kaedah operasionalnya. Sebab jika langsung dibawa ke ranah praktis, maka
memungkinkan orang menafsirkan dalil-dalil nash sesuai kehendaknya. Jadi
prinsip-prinsip normatif tetap membutuhkan pembatasan-pembatasan dengan
merumuskan kaedah-kaedah dasarnya sebelum diterapkan pada suatu transaksi.
Tanpa adanya pembatasan-pembatasan itu, maka potensial terjadi penyalahgunaan
penafsiran/pemaknaan untuk meloloskan kemauannya. Dengan demikian, penggunaan
prinsip-prinsip normatif ekonomi syariah kelihatan semraut, bebas tanpa batas,
orang hanya bermain pada penafsiran/pemaknaan subjektif.