Minggu, 22 September 2013

Sejarah dan Kaedah Akad Maliyah

 
A.  Akar Sejarah Akad Muamalah Maliyah
Sejarah muamalah manusia sejak Nabi Adam as sampai sekarang telah melalui masa yang cukup lama. Dari karakter manusia sebagai makhluk sosial, maka kuat dugaan bahwa sejak awal manusia pra sejarah telah melakukan kegiatan muamalah dalam pengertian melakukan interaksi (hubungan kerja) anta satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pada masa itu masih sangat sederhana sesuai kondisi peradaban yang ada. Sejak awal manusia hidup membentuk kelompok untuk saling membantu dan bekerja sama melawan binatang buas atau kelompok lain yang sewaktu-waktu dapat menyerang mereka.
Kehidupan masyarakat primitif dalam mempertahankan hidupnya terbimbing oleh fitrahnya sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, mereka senantiasa membentuk kelompok-kelompok, mulai dari kelompok kecil sampai (kelompok satu rumpun keturunan/keluarga) sampai kelompok besar (kelompok komunitas satu daerah, suku/ras,  atau bangasa).
Pola hidup berkelompok itulah yang pada gilirannya menjadi sarana kerja sama yang efektif dalam memenuhi dan mempertahankan hidup mereka. Dari perjalanan sejarah panjang dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, setidaknya dapat dipetakan secara garis dua model terkuno bentuk muamalah manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya, yaitu:
1. Kerjasama bagi hasil (syirkah)
Kerjasama bagi hasil merupakan bentuk muamalah pertama dan tertua yang pernah dilakukan dalam sejarah panjang peradaban manusia sebelum ditemukannya bentuk muamalah yang lain. Kerjasama bagi hasil pada masa awal diwujudkan dalam pola keja dengan sistem meramu (mencari dan mengumpulkan bahan makanan untuk dikonsumsi bersama). Sistem meramu merupakan pola kerjasama tertua yang pernah dilakukan manusia. Dalam sistem kerjasama ini sekelompok orang bekerja mencari bahan makanan dari hutan dari jenis tumbuhan, buah-buahan, maupun binatang buruan. Siapapun dari kelompok tersebut yang mendapatkan makanan dari hutan atau binatang buruan yang ditangkap bersama akan dibawa pulang atau langsung dimakan bersama oleh kelompok tersebut. Akad kerjasama yang digunakan dalam sistem meramu ini adalah akad sukuti atau akad bi al- mua'¯at, yaitu akad yang terjadi dengan saling pengertian dan langsung diwujudkan dengan perbuatan, tanpa harus dilafazkan secara lisan atau tulisan terlebih dahulu. Sedangkan bentuk bagi hasilnya adalah diwujudkan dengan cara saling berbagi untuk semua anggota kelompok dalam menikmati hasil yang didapatkan tanpa harus ditentukan porsi (bagian) masing-masing dengan sama banyak. Mereka rela mendapatkan bagian yang berlebih kurang tanpa harus diukur agar persis sama.
Pola kerjasama seperti itu memang wajar pada masa itu, mengingat tingkat perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan ketika itu masih sangat terbatas. Namun dapat dipahami, bahwa dalam pola hidup dengan sistem meramu terdapat kerjasama bagi hasil yang substansinya sama dengan sistem bagi hasil yang berkembang saat ini, yang berbeda hanya model-model bentuk modifikasinya. Kesamaan substansinya adalah terletak pada acuan yang sama merujuk pada sistem kerja yang dikenal saat ini dengan istilah “teori percampuran”. Kerjasama sistem meramu mencampurkan kerja dengan kerja (syirkah abdan). Saat ini teori percampuran (syirkah atau musyarakah) telah dikembangkan dan dan dibagi kedalam beberapa bentuk, salah satunya adalah syirkah abdan itu sendiri.
2. Jual beli (al-bai’)
Bentuk muamalah tertua kedua yang muncul setelah kerjasama bagi hasil (syirkah) adalah jual beli. Dari sejarah perkembangan sistem jual beli, dapat dibagi ke dalam lima fase perkembangan, yaitu:
a.       Fase jual beli barter
b.      Fase jual beli dengan menggunakan uang barang
c.       Fase jual beli dengan menggunakan uang logam
d.      Fase jual beli dengan menggunakan uang kertas
e.       Fase jual beli dengan menggunakan kartu plastik
Jual beli termasuk salah satu bentuk muamalah maliyah dalam teori pertukaran. Oleh karena dalam berjualbeli terjadi pertukaran materi dengan materi (māl bi māl), baik secara langsung barang produk dengan barang produk (barter), maupun melalui perantara alat tukar (uang).
Sistem jual beli merupakan kegiatan muamalah yang sangat urgen bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, sistem jual beli termasuk kegiatan pokok dan wilayah muamalah (bisnis) yang sangat luas dipraktikkan setiap hari. Sejak manusia mengalami perkembangan sampai saat ditemukan dan dibutuhkannya sistem jual beli, kegiatan ini menjadi kegiatan kunci dalam distribusi hasil-hasil produksi manusia. Kegiatan jual beli merupakan kegiatan ekonomi terbesar yang dilakukan manusia di dunia.
3. Upah-mengupah (ijarah)
Upah mengupah merupakan kegiatan muamalah maliyah tertua ketiga yang muncul dalam sejarah peradaban manusia. Kegiatan ini semula dipraktikkan hanya dalam satu bentuk, yaitu menukar jasa dari kerja dengan materi (upah). Oleh karena itu, sistem ini juga termasuk bagian dari teori pertukaran. Bedanya dengan jual beli adalah yang dipertukarkan dalam sistem ini yaitu menukar jasa dengan materi, sementara dalam jual beli yang dipertukarkan adalah materi dengan materi.
Seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan muamalah, maka kemudian muncul sistem baru dari sistem ijarah (pertukaran jasa dengan materi) yaitu sistem sewa. Sistem sewa dengan sistem upah memiliki substasi yang sama yaitu sama-sama menukarkan non materi dengan materi. Oleh karena itu, baik upah-mengupah maupun sewa-menyewa masuk dalam pengertian ijarah.
Ketiga bentuk muamalah tersebut di atas (syirkah, jual beli dan ijarah) muncul dalam peradaban manusia sebagai kebutuhan mendasar yang bermanfaat bagi semua pihak. Dengan demikian, prinsip-prinsip kerja yang tercakup di dalamnya merupakan kebutuhan mutlak yang adil dan mendatangkan maslahah bagi semua pihak. Dengan dasar itu setiap bentuk muamalah maliyah yang menyalahi prinsip keadilan dan kemaslahatan yang dipolakan dalam ketiga sistem muamalah maliyah (bisnis) tersebut tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima, karena pasti di dalamnya akan mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi pihak lain. Wujud kerugian yang timbul akibat adanya pelanggaran dari prinsip-prinsip substasial dari ketiga pola kegiatan bisnis itu terealisasi melalui bisnis yang mengandung unsur riba (pemerasan), garar (penipuan), atau maisir (spekulasi).
Ketiga bentuk muamalah maliyah tersebut muncul dalam sejarah peradaban manusia murni secara alami sesuai dengan nilai-nilai luhur kodrat hajat manusia. Di dalamnya tidak terdapat unsur rekayasa negatif, pemaksaan, dan manipulasi subjektif. Dengan demikian, prinsip-prinsip normatif yang terdapat di dalamnya apabila diaplikasikan secara benar (apa adanya), maka akan mendatangkan kemaslahatan umum yang sejalan dengan norma-norma ajaran agama.
Pola-pola muamalah maliyah itulah yang kemudian pada era sekarang dipetakan ke dalam dua grand teori yang dikenal dengan istilah “teori percampuran” dan “teori pertukaran”. Apapun bentuk muamalah tijari (bisnis) yang berkembang sekarang pasti dan harus dikembalikan dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dikehendaki oleh ketiga pola muamalah tersebut. Jika ternyata dalam praktiknya terdapat ketidakselarasan atau ketidakrelevanan dengan salah satu dari ketiga pola tersebut, maka dapat dipastikan bahwa di dalamnya terdapat unsur pelanggaran yang berakibat munculnya kemudaratan bagi salah satu pihak yang melakukan akad atau bagi pihak umum.
B.  Kaedah-kaedah Pembentukan Multi Akad
Berdasarkan pada sejarah pembentukan akad maliyah tersebut  di atas, maka ada beberapa kaedah dasar yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan multi akad. Jika salah satu atau beberapa unsur dari kaedah-kaedah tersebut tidak terpenuhi, maka bentukan multi akad yang dibuat tidak sah karena berimplikasi pada tiga kemungkinan yang dilarang dalam ekonomi syariah, yakni; 1) riba; 2) garar dan; 3) maisir. Artinya, jika cara pembuatan multi akad itu melenceng dari kaedah-kaedah tersebut, maka akan jatuh pada model multi akad yang mengandung unsur yang dilarang secara tegas dalam ekonomi syariah.
Penetapan kaedah-kaedah ini berguna  bagi adanya pedoman yang unifikatif,  pasti, dan praktis dalam mengatasi problema kesemrautan pembuatan model-model multi akad selama ini karena tidak adanya kaedah-kaedah yang dijadikan pedoman. Penggunaan kaedah dalam pembuatan multi akad menjadi pedoman kepastian hukum agar dalam pembuatan transaksi multi akad tidak dilakukan secara bebas tanpa batasan yang jelas.
Secara garis besarnya ada 2 (dua) fungsi utama dari kaedah-kaedah multi akad, yaitu:
1.    Fungsi verifikatif
Fungsi verifikasi adalah sebagai pedoman dalam memerifikasi/menilai model-model multi akad yang telah diaplikasikan selama ini, baik yang dipraktikkan oleh lembaga keungan syariah maupun lembaga keungan konvensional. Model-model multi akad dari kedua lembaga tersebut akan dinilai secara jujur, adil, dan transparan. Asumsi awal dibangun dari persepsi yang netral, bahwa kesyariahan suatu transaksi bukan terletak pada nama/label, melainkan pada substansi akad dan prosesnya.
2.    Fungsi inovatif
Fungsi inovatif adalah sebagai pedoman dalam membuat, memodifikasi, dan merumuskan suatu model multi akad yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Fungsi kedua dari kaedah-kaedah multi akad ini sesungguhnya lebih dinantikan perannya untuk menjawab tantangan para ekonom konvensional yang selama ini menuntut agar ahli ekonomi syariah menunjukkan kreasi baru dari ekonomi syariah yang murni tanpa harus mencontoh model dari ekonomi konvensional.
Ketidakmampuan para ahli ekonomi syariah membuat model multi akad baru tanpa harus mengekor pada ekonomi konvensional adalah disebabkan belum ditemukannya pedoman pembuatan multi akad yang murni dirumuskan dari norma-norma dan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
       Penggunaan kaedah-kaedah dalam pembuatan transaksi multi akad sangat urgen untuk menghindari spekulasi dan rekayasa yang bermotif hīlah dalam rangka menyiasati atau mengakal-akali ketentuan-ketentuan syariat untuk mencapai tujuan. Hal ini banyak terjadi di lembaga keuangan syariah dengan mengkonversi model transaksi multi akad konvensional yang dipraktikkan di lembaga keungan non syariah (konvensional).
Kebebasan mencari-cari cara untuk sampai pada suatu model transaksi yang pada esensinya proses yang ditimbulkan oleh model multi akad tersebut sama saja dengan multi akad konvensional, karena yang dilakukan hanyalah penggantian peristilahan (penamaan) atau pensyariahan nama, namun substansi prosedur dan proses pengelolaan finansial dan produknya tetap sama dengan model konvensional. Kritikan dari banyak kalangan selama ini yang melihat lembaga keungan syariah hanya berbeda nama/label  dengan lembaga keuangan non syariah memang harus diakui jika penggunaan label syariah pada aplikasi akad-akadnya mengadopsi model-model multi akad konvensional yang diganti peristilah-annya. Sebenarnya kritikan itu muncul karena mereka tidak melihat adanya kaedah-kaedah yang operasiol dan fungsional secara efektif untuk menjabarkan/mengamalkan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang terdapat dalam dalil-dalil nash.
Dasar yang digunakan oleh ekonom muslim selama ini dalam membuat transaksi multi akad adalah hanya berdasar pada prinsip-prinsip normatif yang belum dikaji secara mendalam untuk dirumuskan kaedah-kaedah opersionalnya agar dapat berfungsi secara benar sesuai maqasid al-syaria’ah. Prinsip-prinsip ekonomi syariah yang masih normatif tidak dapat langsung diamalkan tanpa terlebih dahulu dirumuskan kaedah-kaedah operasionalnya. Sebab jika langsung dibawa ke ranah praktis, maka memungkinkan orang menafsirkan dalil-dalil nash sesuai kehendaknya. Jadi prinsip-prinsip normatif tetap membutuhkan pembatasan-pembatasan dengan merumuskan kaedah-kaedah dasarnya sebelum diterapkan pada suatu transaksi. Tanpa adanya pembatasan-pembatasan itu, maka potensial terjadi penyalahgunaan penafsiran/pemaknaan untuk meloloskan kemauannya. Dengan demikian, penggunaan prinsip-prinsip normatif ekonomi syariah kelihatan semraut, bebas tanpa batas, orang hanya bermain pada penafsiran/pemaknaan subjektif.