Senin, 26 Desember 2022

Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag.,M.HI.

 

Pidato

PENGUKUHAN GURU BESAR

Bidang Ilmu Hukum Islam

Pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

 

 

 

PENGEMBANGAN WISATA RELIGI BEDA AGAMA 
UNTUK PEREKAT PERSATUAN ANTAR UMAT BERAGAMA 
DI INDONESIA (Analisis Destinasi Wisata di Sulawesi Selatan 

dengan Pendekatan Hukum Islam)

 

 

 

Watampone, 26 Desember 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag.,M.HI.

                                             

 

 

Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag.,M.HI. dan Istri (Mardhaniah,S.Ag.,S.Hum.,M.Si)

 

 

 

 

Yang saya hormati dan saya muliakan:

1. Rektor/Ketua Senat IAIN Bone

2. Sekretaris Senat dan Para Anggota Senat

3. Para Guru Besar

4. Para Wakil Rektor

5. Para Dekan dan Wakil Dekan

6. Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana

6. Kepala Biro, Kabag, dan Kasubag

7. Para Ketua Lembaga dan Kepala Unit

8. Para Dosen dan Tenaga Kependidikan

9. Para Mahasiswa  

10. Para Tamu Undangan, Bapak, Ibu hadirin dan hadhirat, serta handai taulan yang berbahagia.

 

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kita semua sebagai umat beragama yang meyakini akan kemurahan dan kebesaran-Nya, marilah bersama-sama memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya atas limpahan rahmat, karunia dan berkah dalam kehidupan kita, sehingga kita dapat dipertemukan di tempat ini dalam suasana yang sungguh membahagiakan.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada Rektor/Ketua Senat IAIN Bone, yang telah memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam dalam Rapat Senat Terbuka ini. Kesempatan ini juga merupakan pemenuhan kewajiban yang harus saya laksanakan untuk menjadi seorang Guru Besar dalam ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam.

 

Hadirin yang saya muliakan,

Perkenankanlah saya menyampaikan pidato yang berjudul:

PENGEMBANGAN WISATA RELIGI BEDA AGAMA UNTUK PEREKAT PERSATUAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Analisis Destinasi Wisata di Sulawesi Selatan dengan Pendekatan Hukum Islam)

 

 

Pendahuluan

Tempat-tempat wisata berbasis religi (keagamaan) sejak dulu digemari para pengunjung baik turis lokal maupun turis manca negara. Indonesia memiliki warisan dan peninggalan situs-situs yang potensial untuk dikembangkan bukan hanya dari aspek pelestarian nilai-nilai budaya lokal dan aspek pembukaan lapangan kerja bagi warga masyarakat setempat, melainkan juga aspek-aspek lain seperti politik, pendidikan, dan hukum. Namun demikian, selama ini, kelihatnnya konsentrasi pemerintah dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan tempat-tempat wisata religi lebih fokus pada aspek pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat. Aspek-aspek lain masih kurang mendapat kajian dan penanganan.

Saat ini bangsa Indonesia menghadapi tantangan disintegrasi yang cukup kuat akibat perkembangan teknologi informasi yang membuat setiap orang begitu cepat dapat mengakses dan menyebarkan informasi-informasi yang dapat memicu ketegangan antar kelompok masyarakat dan antar umat beragama. Isu-isu sara yang dipublikasi di media sosial sangat mudah memancing dan memprovokasi kelompok masyarakat dan umat beragama yang berbeda.

Untuk mengatasi terjadinya disorientasi isu-isu sara yang berpotensi menimbulkan distoleransi dan disintegrasi antar umat beragama, maka pemerintah bersama masyarakat perlu menggunakan segala potensi yang ada guna merawat dan mengokohkan orientasi kerukunan dan persatuan antar umat bergama sebagai landasan terciptanya situasi yang kondusif bagi pembangunan bangsa.

Indonesia memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata religi baik yang merupakan warisan sejarah, maupun yang merupakan pembangunan kawasan baru untuk memberi ruang kepada masyarakat melakukan rekreasi dan relaksasi guna melepas lelah dan kebosanan dari aktifitas sehari-hari. Sudah merupakan kebutuhan psikis bagi masyarakat untuk malakukan kunjungan wisata guna mengimbangi kejenuhan agar kesehatan ruhani dapat terjaga dan seimbang.

Khusus di Sulawesi Selatan, geliat pembangunan tempat-tempat wisata bernuansa religi beberapa tahun terakhir di beberapa kabupaten menunjukkan trend meningkat. Pengunjung yang datang juga cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahawa masyarakat membutuhkan tempat rekreasi/wisata yang sekaligus memiliki nuansa keagamaan.

Fenomena menarik yang terjadi di tempat-tempat wisata religi adalah ternyata pengunjungnya bukan hanya dari masyarakat satu agama yang terkait langsung dengan agamanya, melainkan juga banyak diminati dari masyarakat yang berbeda agama. Hal ini menjadi potensi besar untuk dikelola dengan konsep wisata perekat keakraban, pengenalan, dan pembiasaan berbaur antar umat beragama yang berbeda sebagai prasyarat terciptanya kerukunan dan persatuan antar umat beragama.

Sebagai contoh tempat wisata budaya berbasis religi di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Pengujung datang dari berbagai daerah bahkan manca negara dengan suku, agama, dan warna kulit yang berbeda-beda. Pertemuan masyarakat yang berbeda-beda suku dan agama di tempat-tempat wisata religi menunjukkan adanya kesiapan para pihak yang berbeda untuk saling mempererat solidaritas dan bekerjasama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan bersama.

Salah satu objek wisata yang relatif baru di Tana Toraja adalah “Patung Yesus Memberkati” yang dibangun di atas gunung Buntu Burake Kota Makale pada Bulan Mei 2015 atas inisiatif Gubernur Sulawesi Selatan yang menggunakan dana sebanyak 22 Milyar. Meskipun tempat wisata “Patung Yesus Memberkati” ini merupakan simbol budaya agama Nasrani, namun yang berkunjung di tempat ini tidak hanya umat Nasrani saja.[1]

Berdasarkan hasil observasi langsung di tempat wisata “Patung Yesus Memberkati”, peneliti melihat keramahan dan toleransi masyarakat setempat terhadap pengunjung yang kebetulan pada saat dilakukan observasi banyak yang beragama Islam dengan simbol identitas jilbab yang dikenakan. Mereka menyiapkan jasa ojek motor khusus untuk pengunjung muslimah yang drivernya juga wanita berjilbab.[2]

Namun demikian, kajian dari aspek hukum ekonomi syariah terkait kegiatan wisata religi beda agama ternyata terdapat pro-kontra di kalangan ahli hukum Islam dalam menilai kebolehannya. Antaralain, menurut fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, tempat peribadatan orang kafir tidak terlepas dari pemandangan-pemandangan yang merupakan praktek kesyirikan, baik berupa perkataan, perbuatan, dan simbol-simbol seperti gambar-gambar syirik dan juga patung berhala. Maka tidak boleh masuk ke sana dalam rangka sekedar melihat-lihat dan jalan-jalan. Karena semua ini termasuk az zuur yang disebutkan dalam firman Allah Swt QS. Al-Furqan: 72 dan QS. Al-Hajj: 30-31. Maka wajib bagi seorang Muslim untuk bertaqwa kepada Allah dan mencukupkan diri untuk melakukan rekreasi dan wisata pada perkara-perkara yang Allah bolehkan. Itu sangat cukup dan banyak sehingga tidak butuh pada sarana rekreasi yang haram. Inilah yang membedakan seorang Muslim dengan pemeluk agama lain dan ini juga akan semakin mengokohkan predikat Islam pada dirinya.[3]

Akan tetapi, jika ditelaah literatur kitab-kitab fiqih klasik maka akan didapati bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang Muslim memasuki tempat-tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja, wihara, dan sinagog.[4] Ulama mazhab Hanafi menyatakan, hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah makruh. Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ‘Ala al-Durr al-Mukhtar menyebutkan: يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. "Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh."[5] Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitabnya Al-Bahru al-Ra’iq Syarh Kanz al-Daqaiq menegaskan: يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا تَحْرِيمِيَّةٌ. “Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan tampaknya, hal itu adalah makruh tahrim (mendekati haram)”.[6]

Mayoritas ulama, meliputi ulama mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan, seorang Muslim boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim. Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari menuturkan: أَيْ مَعْبَدُهَا كَنِيْسَةً أَوْ بِيْعَةً، وَلِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ دُخُوْلُهُ مَعَهَا  “Yaitu tempat ibadah istrinya, baik berupa gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya.”[7] Ulama bermazhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi juga menuliskan dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tahshil:

 وَرَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ أَنَّ مَالِكًا سُئِلَ عَنْ أَعْيَادِ الْكَنَائِسِ فَيَجْتَمِعُ الْمُسْلِمُونَ يَحْمِلُونَ إلَيْهَا الثِّيَابَ وَالْأَمْتِعَةَ وَغَيْرَ ذَلِكَ يَبِيعُونَ يَبْتَغُونَ الْفَضْلَ فِيهَا. قَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ.

"Ibnu Qasim bercerita, imam Malik ditanya tentang perayaan di gereja, di mana umat Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan barang-barang lain menuju gereja untuk menjualnya di sana. Beliau berkata: Hal itu tidak apa-apa."[8]

Secara konseptual wisata religi beda agama kontra produktif dengan wisata halal (wisata syariah) yang sedang berkembang. Dalam konsep wisata halal, umat Islam diorientasikan untuk hanya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang terkait dengan budaya, sejarah, dan warisan Islam, serta menerapkan prinsip Islam dalam pelayanan dan fasilitas yang disediakan.

Jika non muslim berkunjung tempat-tempat wisata religi Islam, berupa masjid bersejarah maka dalam hal ini juga terdapat perbedaan pandangan dikalangan ulama, sebagian ulama memberikan batasan-batasan yang boleh dimasuki. Terlepas dari adanya perbedaan itu, menurut Rianto Sofyan (owner Sofyan Corporation/Hotel Syariah) non muslim dibolehkan mengunjungi tempat-tempat wisata religi muslim. Mereka boleh datang ke masjid bersejarah atau masjid yang memiliki keunikan untuk melihatnya. Hal ini baik untuk memperkenalkan Islam kepada mereka, sebagai media dakwah dan untuk mempererat persaudaraan, dengan harapan semoga mereka diberi hidayah.[9]

Oleh karena itu, menjadi penting untuk dilakukan kajian penelitian yang mempertemukan kajian legalitas teoritis konseptual berdasarkan pendapat para ahli hukum Islam dan data empirik di lapangan. Hal ini dibutuhkan sebagai solusi mengatasi perbedaan pandangan yang cenderung polemik dan untuk melahirkan konsep yang moderat di antara dua pandangan yang kontradiktif.

Urgensi penelitian ini adalah untuk menemukan formulasi konsep wisata religi beda agama yang dapat diaplikasikan untuk mencegah terjadinya orientasi konprontatif dalam pengelolaan dan pengembangan wisata halal dengan wisata religi yang dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa/masyarakat. Hasil penelitian akan menemukan konsep pengaturan yang dapat menjadi solusi dalam mengatasi mispersepsi dan misorientasi akibat eksklusifisme agama terhadap wisata religi beda agama dan hal ini merupakan prasyarat untuk membangun harmoni kehidupan antar umat beragama dalam manajemen pengelolaan destinasi wisata religi yang inklusif.

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji masalah ini adalah dengan melakukan penelitian lapangan. Data dikumpulkan menggunakan angket dan wawancara. Temuan penelitian dianalisis menggunakan pendekatan hukum ekonomi Islam (fikih muamalah) agar menghasilkan konsep pengaturan objek wisata religi yang lebih produktif dan berfungsi ganda.

Pengertian Wisata dan Pariwisata

Secara etimologi, wisata merupakan padanan kata tour (dalam bahasa Inggris), tour berasal dari kata torah (bahasa Ibrani) yang berarti belajar, tormus (bahasa Latin) yang berarti alat untuk membuat lingkaran, dan dalam bahasa Prancis kuno disebut tour yang berarti mengelilingi sirkuit. Walaupun dalam bahasa Sansekerta istilah wisata memiliki pengertian yang sama dengan perjalanan, namun karena perjalanan telah memiliki pengertian yang jelas, maka kata wisata cukup diserap sebagai padanan kata tour tersebut. Sedangkan bila ditinjau secara terminologi wisata diartikan sebagai sebuah perjalanan yang terencana, dimana seseorang dalam perjalanannya singgah sementara di beberapa tempat dan akhirnya kembali lagi ke tempat asal di mana ia mulai melakaukan perjalanan. [10]

Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara” (Pasal 1 ayat [1]).

Sedangkan “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah” (Pasal 1 ayat [3]).

Menurut Mason Pariwisata adalah perpindahan sementara ke tempat-tempat tujuan selain tempat kerja dan tempat tinggal, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu sesuai dengan tujuan dilakukannya wisata.[11]

Pengertian Wisata Religi

Untuk memahami pengertian “wisata religi” dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi tujuan dilakukannya perjalanan oleh wisatawan dan dari segi tempat, objek, atau destinasi yang dituju. Berdasarkan tujuan wisatawan melakukan perjalanan, maka wisata religi bermakna wisata yang dilakukan dengan tujuan melaksanakan ritual keagamaan. Dalam pengertian ini maknanya meliputi wisata ziarah dan wisata ibadah, misalnya wisata dengan tujuan untuk melaksanakan umrah. Wisata ini sifatnya homogen, dilakukan oleh satu kelompok penganut agama tertentu saja, seperti wisata umrah.

Sedangkan berdasarkan tempat, objek, atau destinasi yang dituju, wisata religi berarti mengunjungi suatu tempat yang berafiliasi dengan keyakinan dan budaya agama tertentu yang sifatnya dikultuskan, dikeramatkan, atau merupakan tempat ibadah ritual. Dalam pengertian ini maknanya meliputi wisata ke candi, masjid tua, tempat atau bangunan bersejarah yang dikultuskan penganut agama tertentu. Wisata ini sifatnya heterogen atau plural, dilakukan oleh berbagai macam penganut agama, misalnya wisata candi Borobudur di Jawa Tengah atau ke patung Yesus memberkati di Toraja Utara. Pada penelitian ini, pengertian wisata religi yang dimaksudkan adalah berdasarkan tempat, objek, atau destinasi yang dituju, yang umumnya disebut wisata religi.

 

Perbedaan Wisata Religi dengan Wisata Halal Dan Wisata Spiritual.

Konsep wisata religi berbeda dengan wisata halal dan wisata spiritual. Wisata religi berkaitan dengan tempat-tempat ritual dan budaya agama tertentu, misalnya dalam Islam mengunjungi masjid dan tempat-tempat bersejarah. Wisata halal adalah konsep baru dalam industri wisata, berkaitan dengan liburan yang aktivitasnya disesuaikan dengan ajaran Islam dalam pemenuhan kebutuhan dan permintaan dari wisatawan muslim. Fasilitas dan jasa layanan yang disiapkan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan agama, sehingga semua yang dilarang dalam agama dihindari dalam konsep wisata halal, seperti tidak ada minuman keras, kolam renang dan spa laki-laki dan perempuan terpisah.[12] Meskipun demikian, sarana dan pelayanan pariwisata halal terbuka untuk masyarakat umum termasuk yang bukan beragama Islam, karena fasilitas yang disiapkan berkenaan dengan makanan dan minuman berlabel halal, pelayanan restoran dan hotel halal, dan petugas hotel juga menerapkan ketentuan-ketentuan syariah.[13]

Sedangkan wisata spiritual (spiritual tourism) adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan untuk melakukan ritual spiritual, misalnya dengan melakukan meditasi, sehingga disebut juga dengan meditation tourism. Wisatawan spiritual mengunjungi suatu tempat, umumnya pura untuk melakukan kegiatan meditasi. Menurut klasifikasi umum, spiritual tourism atau meditasi tourism dapat dimasukkan sebagai salah satu bentuk culture tourism, karena unsur budayanya sangat kental.[14]

 

Wisata dan Toleransi
Kiran A. Shinde, merumuskan teori dari hasil penelitiannya yang berjudul "Religious Tourism and Religious Tolerance: Insights from Pilgrimage Sites in India", bahwa masing-masing situs wisata religi memberikan kesempatan yang berbeda bagi pengunjung dari agama lain untuk lebih memahami aspek agama dan budaya. Ditemukan bahwa toleransi dalam sekte Hindu dan non-Hindu dari agama lain adalah tercipta dari fungsi dari keterlibatan mereka yang berbeda agama dalam pertunjukan budaya dan partisipasi mereka dalam ekonomi pariwisata religi di situs-situs ziarah.[15] Teori ini menunjukkan adanya relevansi antara kegiatan wisata religi yang melibatkan penganut agama yang berbeda dengan pembinaan toleransi dan persatuan bangsa. 

Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kiran A. Shinde, Pedersen, dan Kusumita P. menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa keadaan terkini diperlukan upaya dan gerakan lintas agama secara terorganisir di seluruh dunia untuk menciptakan pemahaman dan kerja sama yang lebih baik antara dan di antara komunitas agama yang berbeda. Konflik antar agama sering muncul karena "penilaian yang tidak lengkap", karena hanya ada sedikit data yang dikumpulkan secara sistematis di bidang ini. Ini memberikan gambaran pentingnya melakukan upaya saling memahami secara komprehensip antar pemeluk agama yang muncul dalam program antaragama untuk mengatasi dampak “eksklusivisme dan pencarian spiritualitas" salahsatunya dapat dilakukan dengan kegiatan wisata religi yang terbuka untuk semua pemeluk agama.[16]

Ismail, Ahmad Munawar, dan Wan Kamal Mujani mengemukakan bahwa mempelajari jalan ke depan untuk membahas wacana antaragama dan pengaruhnya terhadap integrasi nasional merupakan kebutuhan mendesak akan platform bersama yang memungkinkan dialog antaragama dan saling pengertian. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika menyusun program untuk mempromosikan pemahaman dan kerukunan antaragama mencakup pentingnya memastikan bahwa perbedaan teologis tidak merusak tujuan nasional dalam membangun masyarakat yang kohesif (kompak).[17] Kekompakan untuk salin toleran dalam pengelolaan dan pemberian kesempatan dalam situs wisata religi menjadi media membangun visi yang sama untuk meningkatkan solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan. 
Anita Medhekar dan Farooq Haq menyebutkan bahwa Krisis keuangan global akibat covid-19 telah menyebabkan banyak industri raksasa jatuh. Dengan runtuhnya ekonomi di seluruh dunia, peningkatan spiritualitas dan hal-hal terkait telah diamati. Perpaduan keduanya melahirkan produk baru yang dinamakan wisata spiritual. Produk ini inklusif tidak seperti wisata religi dan ziarah yang cenderung eksklusif. Banyak negara yang menawarkan wisata religi dan ziarah berjuang keras untuk mengubah produknya menjadi pariwisata berbasis multi keyakinan. Misalnya India mendesain ulang pariwisatanya dan menghadirkan citra multi-keyakinan atau tujuan wisata spiritual. Pariwisata berbasis agama selama ini diperkenalkan oleh Pemerintah India yang dinilai menggunakan pendekatan sempit dan eksklusif. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan, pariwisata spiritual sedang dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata India dalam rencana lima tahun ke-12, tidak hanya untuk pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan, tetapi juga untuk mempromosikan India sebagai tujuan wisata spiritual multi agama (inklusif).[18]
Kurmanaliyeva memandang bahwa wisata religi memiliki ciri sosial budaya yang begitu penting, seperti praktik sosial, mengubah manusia dan memposisikannya dalam ruang sosial. Karenanya wisata religi memiliki semacam potensi sosio-kultural yang dapat mempengaruhi keadaan motivasi seseorang, yang memiliki kebutuhan akan benda budaya dan religi yang dibutuhkan untuk eksistensi ideologis spiritual. Kekhususan kesadaran nilai orang modern, serta karakteristik status sosial, budaya dan ekonomi dari berbagai kelompok sosial menentukan berbagai motif wisata, yang berpengaruh signifikan terhadap pilihan aktivitas wisata dengan identitas tertentu.[19]
Emmanuel O. Okon menemukan dari hasil penelitiannya bahwa bermunculannya Gereja-Gereja Pantekosta yang berbeda di Nigeria dan berbagai konvensi dan festival yang diadakan setiap tahun dan setiap tiga bulan oleh gereja-gereja telah meningkatkan jumlah kedatangan dari negara-negara luar negeri yang mengunjungi negara tersebut untuk menghadiri berbagai program keagamaan. Ini telah menciptakan lapangan kerja bagi penduduk di daerah tersebut. Sehingga pariwisata religi telah menjadi penghasil devisa tertinggi bagi industri pariwisata negara tersebut meskipun industri pariwisata masih dalam tahap awal dan belum mengambil posisi yang signifikan dalam pengelolaan pendapatan negara Nigeria. Direkomendasikan bahwa industri perhotelan harus meningkatkan fasilitasnya, pemerintah harus membangun atau meningkatkan jalan berstandar internasional yang menuju ke kota-kota besar dan daerah pedesaan dan perlu menyediakan fasilitas dasar di tujuan pariwisata. Di tingkat pemerintah daerah, inventarisasi semua lokasi wisata dan festival di berbagai daerah harus dipublikasikan agar situs wisata tersebut menjadi pusat perhatian. Semua komunitas agama harus mendidik ulama mereka tentang perlunya kerukunan umat beragama dan toleransi terhadap agama lain dalam pemanfaatan objek wisata religi.[20]

Perbedaan agama yang diperkuat oleh adanya perbedaan strata sosial dari aspek kekayaan (ekonomi), aspek kekuasaan dan wewenang (politik), aspek kehormatan, dan aspek ilmu pengetahuan beresiko memicu terjadinya konflik sosial di negara yang multikultur seperti Indonesia, sehingga diperlukan upaya untuk mengantisipasinya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui konsep wisata religi seperti yang sudah diterapkan di kawasan Nusa Dua Kabupaten Bandung Bali dengan konsep Puja Mandala. Konsep ini diprakarsai oleh pemerintah dengan membangun kawasan wisata religi terpadu di satu kawasan untuk lima agama yang ada di Indonesia. Masing-masing agama mendapatkan 0.5 Hektar tanah untuk dibagun tempat ibadah bagi pengunjung yang datang dari berbagai daerah.[21] Sentralisasi kawasan wisata religi multi agama bertujuan untuk memupuk solidaritas, toleransi dan persatuan.

Wisata religi terkait erat dengan aspek estetika, yaitu karya seni yang memuat nilai keindahan yang tinggi. Melalui wisata religi, karya seni dikomunikasi secara nonverbal yaitu dengan cara diperlihatkan, dalam hal ini mengandung pesan dakwah simbolik misalnya melalui lambang-lambang yang terbuka untuk ditafsirkan oleh siapapun secara subjektif. Sehingga ada potensi tidak semua orang mencintai atau memberikan apresiasi positif.[22] Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya yang terprogram untuk memberikan arahan agar penafsiran positif yang menunjang peningkatan persaudaraan dan persatuan lebih dominan.

Sebab itu, dalam kajian hukum ekonomi (muamalah) berwisata sebagai kebutuhan spiritual, hukumnya dapat meningkat menjadi kebutuhan primer, tidak lagi sebagai kebutuhan tersier atau kebutuhan sekunder. Tergantung pada motif (niat) atau tujuan dan cara melakukannya.[23] Oleh karena itu, program wisata religi perlu diorientasikan secara konseptual untuk peningkatan solidaritas dan persatuan, disosialisasikan dan dipromosikan secara berkesinambungan.  

Fahadil Amin Al Hasan menguraikan bahwa Dalam Fatwa DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Parawisata Berdasarkan Prinsip Syariah menetapkan aturannya melalui tiga (3) garis besar ketetapan, yaitu hal yang berkait ikhtiyarnya sebagai destinasi wisata halal, kewajiban yang harus dipenuhinya sebagai destinasi wisata halal, dan hal-hal yang harus dihindari sebagai destinasi wisata halal. Dari ketetapan yang berhubungan dengan ikhtiyarnya sebagai destinasi wisata halal, terdapat beberapa poin yang perlu dikritisi, yaitu terkait dengan keharusannya menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan kearifan lokal yang tidak melanggar prinsip syariah. Klausul yang terdapat pada ketentuan ini sangat ambigu karena dibatasi oleh kalimat “yang tidak melanggar prinsip syariah”. Apabila ketentuan tersebut tidak dijelaskan secara rinci, maka dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi bahwa setiap wisatawan boleh tidak menghormati sosial-budaya yang bertentangan dengan prinsip syariah. Padahal, kebudayaan yang terdapat di Indonesia tidak hanya bersumber dari budaya Islam, akan tetapi beragam. Sehingga, satu sama lainnya harus saling menghormati walaupun berbeda agama dan kepercayaan.[24]

Oleh karena itu ketetapan ini terlihat bersinggungan dengan ketetapan lain yang terdapat pada ketentuan yang sama, yaitu klausul yang menjelaskan bahwa parawisata halal wajib diarahkan pada ikhtiar untuk mewujudkan kebaikan yang bersifat universal dan inklusif. Pada ketentuan selanjutnya dijelaskan bahwa pada destinasi wisata halal harus memiliki fasilitas ibadah yang layak pakai, mudah dijangkau, dan memenuhi persyaratan syariah. Ketentuan ini pun harus juga dijelaskan secara rinci, apa dan bagaimana kriteria fasilitas ibadah yang memenuhi persyaratan syariah yang dimaksud pada fatwa ini. Selain itu, di ketentuan terakhir dijelaskan bahwa destinasi wisata wajib terhindar dari kemusyikan dan khurafat, serta pertunjukan seni, budaya, dan atraksi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dua ketetapan ini perlu diperjelas dan dibatasi secara rinci bagian apa saja yang termasuk pada kemusyrikan, khurafat, serta pertunjukan yang bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini perlu dijelaskan dalam fatwa ini mengingat banyaknya destinasi wisata yang berhubungan dengan budaya-budaya non-Islam, seperti wisata ke berbagai candi di Indonesia, perunukan budaya di Bali, dan lain sebagainya.[25]

 

Pengaturan Wisata Religi pada Objek Wisata Sulawesi Selatan

Berdasarkan data hasil angket masyarakat berpendapat bahwa keberadaan objek wisata religi di suatu daerah berperan dalam membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sebanyak 54,8 % informan menjawab sangat berperan, 41,9 % menjawab berperan, dan 3,3 % menjawab kurang berperan.

Oleh karena itu, menurut masyarakat objek wisata religi dapat dikembangkan fungsinya menjadi multi fungsi, tidak hanya dari aspek tempat rekreasi dan ekonomi, melainkan juga dapat dikembangkan untuk pembinaan keagamaan dan media mempererat tali persaudaraan sesama anak bangsa. Terhadap potensi pengembangan multi fungsi situs wisata religi jawabab informan adalah sangat dapat 48,4 %, dapat 45,2 %, dan kurang dapat 6,4 %.

Potensi pengembangan fungsi objek/situs wisata relegi yang perlu mendapat perhatian adalah untuk dijadikan media guna membina dan meningkatkan persaudaraan antar umat beragama. Hal ini ditanggapi oleh informan dengan jawaban sangat dapat 45,2 %, dapat 51,6 %, dan kurang dapat 3,2 %.

Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan fungsi objek wisata religi agar dapat memainkan peran yang lebih luas utamanya untuk dijadikan media perekat persaudaraan dan persatuan antar umat beragama, maka menjadi mutlak diperlukan adanya regulasi tersendiri. 100% informan menyatakan bahwa objek wisata religi perlu penataan dan pengaturan tersendiri agar lebih berfungsi sebagai media perekat persatuan bangsa (sangat perlu 41,9 %, perlu 58,1 %).

Berdasarkan hasil survey dan wawancara di sejumlah tempat wisata di Sulawesi Selatan, ditemukan data bahwa saat ini regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah terkait manajemen tempat-tempat wisata yang ada di daerah adalah berkenaan dengan tata tertib pengunjung, tanggungjawab pengelolaan dan distribusi pendapatan. Belum ada regulasi khusus yang diterbitkan dalam rangka mendorong fungsi tempat wisata menjadi sarana mempererat solidaritas dan persatuan antar umat beragama. Sementara itu, sejumlah tokoh agama dan masyarakat memandang perlu ke depan dibuat pengaturan (regulasi) khusus untuk mengembangkan fungsi objek wisata menjadi sarana pemersatu.

Pengadaan aturan khusus pariwisata secara umum dan wisata religi secara khusus untuk dijadiken media meneguhkan persaudaraan dan kesatuan antar umat beragama di Indonesia merupakan implementasi dari Undang-undang Dasar 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa:

 Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Pasal 4 yang menyebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk:

a.  meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

b.  meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c.  menghapus kemiskinan;

d.  mengatasi pengangguran;

e.  melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

f.   memajukan kebudayaan;

g.  mengangkat citra bangsa;

h.  memupuk rasa cinta tanah air;

i.   memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

j.   mempererat persahabatan antarbangsa.

Yang sangat relevan dengan kajian ini adalah pada Pasal 4 huruf h dan i, yang menegaskan bahwa tujuan dilaksanakannya pembangunan pariwisata adalah untuk “memupuk rasa cinta tanah air dan memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa”. Selain itu juga disebutkan pada Pasal 5 Undang-undang Kepariwisataan bahwa:

Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:

a.   menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b.  menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c.   memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d.  memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e.  memberdayakan masyarakat setempat;

f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;

g.   mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h.   memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025 Pasal 2 Ayat (8) huruf d menyebutkan bahwa:

“Arah pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e adalah pembangunan kepariwisataan nasional dilaksanakan secara terpadu secara lintas sektor, lintas daerah, dan lintas pelaku”.

Namun demikian, pengembangan fungsi pariwisata sebagai media perekat pesatuan bangsa sebagai salah satu sektor yang seharusnya dipadukan dengan sektor lain belum mendapat perhatian yang proporsional. Hal ini terbukti dengan tidak dilibatkannya kementerian agama RI dalam tim yang diberi tugas membuat Rencana Induk Pengembangan (RIP) dan Integrated Tourism Master Plan Kepariwisataan Indonesia dalam Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua PP No.64 Tahun 2014 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepariwisata-an.

Meskipun demikian, keterlibatan peran tokoh-tokoh agama dalam membuat konsep/desain pariwisata religi yang berfungsi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar memahami pentingnya toleransi, solidaritas, dan persatuan antar umat beragama sebagai pondasi memperkokoh NKRI melalui kegiatan pertunjukan kesenian atau melalui kegiatan kearifan lokal yang diintegrasikan di kawasan wisata religi masih dapat dilakukan melalui peraturan daerah (peraturan gubernur atau peraturan bupati).

Otonomi daerah potensial bagi kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat untuk membuat konsep dan regulasi guna menjadikan sarana wisata memiliki fungsi ganda dan lintas sektor. Terbuka peluang bagi daerah kabupaten dan kota untuk berlomba untuk menunjukkan kreativitasnya membuat dan menerapkan konsep pariwisata religi yang terintegrasi dengan upaya penyadaran masyarakat pengunjung untuk lebih menghayati pentingnya memahami ajaran dan keyakinan agama lain untuk meningkatkan persatuan sesama anak bangsa.

 

Pandangan Masyarakat di Sekitar Lokasi Wisata dan Tokoh Agama Terhadap Wisata Religi Beda Agama.

Mayoritas masyarakat memandang bahwa keberadaan objek wisata religi di daerahnya sangat dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja. 38,7% informan mengatakan sangat dibutuhkan, 51,6 % mengatakan dibutuhkan, dan hanya 9,7% mengatakan kurang dibutuhkan. Sehingga pemerintah daerah perlu memprioritaskan pembangunan objek wisata religi di daerahnya guna meningkatkan PAD sekaligus menjadi perekat persatuan antar umat beragama. 90,4% informan mengatakan perlu menjadi prioritas, kurang perlu 6,4 %, dan tidak perlu 3,2 %.

Konsep wisata religi yang potensial dikembangkan di suatu daerah adalah objek wisata yang terintegrasi dengan program penguatan ketahanan bangsa. Oleh karena itu, objek wisata religi agama tertentu seharusnya membuka diri untuk menerima pengunjung dari penganut agama lain agar terjalin solidaritas untuk mempererat persatuan. 35,5% informan mengatakan hal ini sangat perlu, 61,3 % mengatakan perlu, dan 3,2% mengatakan kurang perlu. Disamping itu, objek wisata religi beda agama perlu disosialisasikan dan diporomosikan tersendiri untuk dijadikan media perekat persatuan bangsa. 48,4 % informan mengatakan sangat perlu, 48,4% mengatakan perlu, dan 3,2 % kurang perlu.

Berdasarkan data hasil wawancara dari sejumlah tokoh agama, ulama dan akademisi, diperoleh data bahwa pada dasarnya mereka memberikan pandangan yang sama tentang perlunya dilakukan revitalisasi pemahaman agama dalam upaya menangkal radikalisme dan intoleran yang akhir-akhir ini semakin menguat. Saat ini peran tokok-tokoh agama sangat diperlukan dalam rangka peningkatan solidaritas dan persatuan sebagai warga negara Indonesia. Segala upaya perlu dilakukan untuk mengimbangai semakin derasnya arus pemikiran yang berpotensi menimbulkan disintegrasi dengan memanfaatkan perbedaan agama untuk mengadudomba masyarakat.

Rasulullah Saw bergaul dan bermuamalah dengan non muslim, ajaran Islam menganjurkan agar memelihara hubungan baik dengan komunitas penganut agama lain, dilarang mengganggu atau merusak tempat-tempat ibadah mereka, bahkan bekerjasama dan tolong-menolong dalam menjaga stabilitas keamanan wilayah dan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan dari solidaritas (ukhuwah) sesama warga yang berdomisili di daerah yang sama. [26]

Melakukan kegiatan muamalah dengan non muslim dibolehkan dalam Islam. Sepanjang tidak berkaitan dengan masalah akidah, ibadah ritual  dan ajaran prinsip dalam Islam, maka dibolehkan bekerjasama dengan non muslim dalam rangka menciptakan stabilitas politik, ekonomi, pendidikan, keamanan dan lain-lain untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data dari informan dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang menjadi titiktolak penilaian terhadap kunjungan ke objek wisata religi agama lain adalah maslahat dan mudaratnya. Informan yang lebih fokus melihat potensi mudaratnya bagi pengunjung sendiri cenderung memilih tidak menganjurkan berkunjung ke tempat tersebut dan lebih mengutamakan memilih destinasi yang dapat dipastikan aman dan sejalan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, informan yang lebih fokus melihat potensi maslahatnya cenderung tidak membeda-bedakan dan tidak menetapkan skala prioritas, sepenuhnya tergantung pada pilihan wisatawan dengan catatan tentu disesuaikan dengan niat dan tujuan yang tidak melenceng dari ajaran agama Islam.

 

Rumusan Konsep Wisata Religi Beda Agama Untuk Perekat Persatuan Bangsa dalam Kajian Hukum Ekonomi Islam (Muamalah).

100% informan menyatakan bahwa mengunjungi objek/situs wisata religi agama lain tidak merusak atau melemahkan komitmen terhadap agamanya sendiri. Data ini menunjukkan tidak adanya dampak negatif terhadap pelemahan keyakinan pada agama sendiri. Bahkan sebaliknya seringnya berkunjung ke objek/situs wisata religi agama lain semakin meningkatkan keyakinan kepada agama sendiri (96,7% jawabab informan), selebihnya hanya 3,3% yang menyatakan tidak meningkatkan keyakinan terhadap agama sendiri.

Disamping itu, seringnya berkunjung ke objek/situs wisata religi agama lain berdampak pada terbukanya pengetahuan/wawasan akan perlunya solidaritas dan toleransi antar umat beragama (96,8% jawaban informan), sisanya hanya 3,2% yang menyatakan kurang berdampak pada terbukanya wawasan untuk meningkatkan solidaritas dan toleransi. Sehingga 80,7% informan menyatakan saling terbuka untuk saling mengunjungi tempat-tempat wisata religi beda agama merupakan kegiatan penting dalam meningkatkan persaudaraan dan persatuan antar umat beragama, dan hanya 19,4% yang menyatakan kurang penting.

Dalam kajian hukum ekonomi Islam (fikih muamalah) tentang konsep wisata religi beda agama untuk perekat persatuan bangsa berdasarkan data dan pembahasan dapat dirumuskan sebagai berikut:

a.     Pengaturan wisata religi beda agama merupakan bagian dari hukum muamalah.

Semasa hidupnya, Rasulullah Saw melakukan interaksi sosial (bermuamalah) dengan non muslim, baik dengan orang kafir, musyrik, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya. Rasulullah saw melakukan transaksi dan kerjasama dalam berbagai bidang muamalah, hubungan bisnis, hidup bertetangga, keamanan dan politik. Hubungan tersebut lebih karena ada keterkaitan sosial sebagai sesama manusia. Dalam konteks ini, Rasulullah Saw tetap menjaga toleransi yang berkaitan dengan keyakinan dan pelaksanaan ibadah ritual. Rasulullah tetap memberikan kesempatan kepada non muslim untuk menjalankan ibadah ritual yang mereka yakini, bahkan Rasulullah Saw melarang menggangu atau merusak rumah ibadah mereka. Interaksi sosial (habl min al-nas) ini dibangun atas dasar kemaslahatan bersama dengan batasan sepanjang tidak merusak intreraksi hamba kepada Allah Swt (habl min Allah). Oleh karena itu, dalam bidang muamalah keterbukaan dan kerjasama perlu diintensifkan tanpa terhalang oleh perbedaan agama untuk meningkatkatkan persatuan bangsa sebagai parasyarat tercapainya peningkatan stabilitas keamanan, ekonomi dan politik.

Dalam bermuamalah hukum adat dan maslahat dalam hukum Islam memiliki kaitan yang sangat erat. Adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat muslim dibenarkan oleh hukum Islam sepanjang tidak bertentang dengan syariat, tentunya dengan memakai pendekatan maslahat.[27] Sehingga dalam pengaturan wisata religi perlu mensinergikan dua sumber norma tersebut agar masyarakat menjalankan dan memelihara agama dan adat sekaligus karena tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat.[28]

 

b.     Pengaturan wisata religi beda agama dapat meningkatkan maslahat dan mengurangi mudharat.

Adanya pengaturan mekanisme pengelolaan dan manajemen objek wisata religi dapat meningkatkan manfaat yang diperoleh sekaligus mengurangi potensi mudarat (dampak buruk). Pengelolaan objek wisata religi yang kurang diatur atau tidak didukung oleh sejumlah regulasi yang diperlukan dapat menjadi kendala untuk meningkatkan manfaat yang potensial diperoleh.

Pengaturan yang diperlukan adalah terkait dengan upaya meningkatkan capaian materil dan non materil. Manfaat materil meliputi terbukanya lapangan kerja di berbagai sektor, peningkatan ekonomi dan sarana-prasarana yang dinikmati oleh masyarakat. Manfaat non materil meliputi konsep pengelolaan dan manajemen yang disiapkan untuk memberikan pembinaan secara audio visual maupun melalui tulisan yang berisi pesan-pesan untuk menanamkan kesadaran toleransi dan arahan-arahan yang bertujuan untuk tetap menjaga ajaran agama masing-masing. Pemerintah daerah dan dinas pariwisata dapat menyiapkan sejumlah konsep yang dikolaborasikan dengan pemanfaatan tempat-tempat strategis pada objek wisata religi yang berisi himbauan untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan tangungjawab bersama menjaga dan merawat nilai-nilai persaudaraan dan persatuan antar umat beragama dalam menghadapi persaingan dan tantangan global. Misalnya pemerintah membuat program menjadikan objek wisata religi sebagai ajang pertemuan tokoh-tokoh agama beserta masyarakat umum untuk melakukan dialog langsung dalam rangka saling berbagi pengetahuan untuk lebih mengenal antar agama. Program ini dilakukan secara berkala dan terjadwal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk informasi penelitian dan tugas-tugas ilmiah lainnya.

Dalam wisata jalin silaturahmi yang dianjurkan oleh Islam sebagai media yang memberikan kebaikan, membuka rezeki, membersihkan jiwa, dan mendapat keberkahan hidup, sehingga Pemerintah Daerah dapat meningkatkan potensi wisata rohani, seperti kunjungan ke rumah ibadah, wisata alam, tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.[29]

Pengelolan pariwisata dalam konteks dunia modern pada hari ini kiranya dapat memadukan atau mengkombinasikan antara penerapan manajemen modern dengan prinsip-prinsip ajaran agama dengan batasan-batasan;

1)    tujuannya diarahkan untuk memperkokoh iman dan memupuk akhlak,

2)    sarana dan prasarana pariwisata dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah (peringatan atau himbauan yang religius pada tempat-tempat tertentu atau membuat brosur-brosur yang berisi penjelasan yang bernuansa agama),

3)    pengelolaan objek-objek wisata tidak merubah apalagi merusak fungsi-fungsi alam dan ekosistem,

4)    menyediakan fasilitas publik, sehingga kenyamanan wisatawan terjamin sedemikian rupa.[30]

                                                 

c.     Adanya pengaturan menghilangkan kekhawatiran

Dalam Al-Qur’an ditemukan sejumlah ayat yang dapat dijadikan dasar perlunya kegiatan wisata sebagai media mempererat persaudaraan dan persatuan antarumat beragama sebagai prasyarat mengokohkan persatuan bangsa. Antaralain QS.al-Ankabut [29]: 20;

ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øŸ2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ

Terjemahnya: Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam QS al-An’am [6]: 108

Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ

Terjemahnya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Syekh al-Maraghi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa al-Qur’an melarang umat muslim menghina sesembahan dan simbol agama lain dikarenakan hal tersebut adalah perbuatan sia-sia, tidak manfaat dan juga mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Oleh karenanya, segala bentuk penghinaan atau menyinggung agama lain di luar Islam tidak dibenarkan.[31]

Pengelola wisata harus menyediakan fasilitas publik, sehingga kenyamanan dan keamanan wisatawan terjamin, wisatawan tidak merasa takut dan khawatir meninggalkan kewajiban seperti shalat atau merasa takut terpaksa melanggar larangan seperti makanan yang tidak jelas haram-halalnya.[32] Penyediaan fasilitas tersebut merupakan realisasi pengutamaan kepentingan umum. Dalam Islam, kepentingan masyarakat banyak diutamakan dari kepentingan pribadi dan kelompok.[33]

Sosiologi hukum mendudukkan hukum sebagai alat dan sarana untuk mengontrol dan membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum agama dan hukum adat merupakan dua sumber norma yang dapat saling menguatkan dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat dengan mekanisme adat.[34] Oleh karena itu, objek-objek wisata yang bernuasa budaya adat dan agama lokal memerlukan pengaturan khusus untuk memberikan kepastian dan keamanan bagi pengunjung dari aspek agama dan sosial, sekaligus menghilangkan alasan pelarangan sebagian ulama yang menganggap kedatangan seorang muslim di tempat wisata non-muslim sebagai bentuk pelanggaran terhadap ajaran Islam karena tempat tersebut terdapat kepercayaan dan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, sehingga kedatangan seorang muslim di tempat tersebut setidaknya dianggap mendukung kemungkaran tersebut. Hal ini dapat dihilangkan dengan adanya regulasi yang menegaskan maksud dan tujuan digalakkannya kunjungan wisata religi beda agama adalah untuk kemaslahatan yang sejalan dengan ajaran Islam dan regulasi yang menegaskan batasan-batasan yang harus dipatuhi agar pengunjung yang beda agama hanya menyaksikan untuk diketahui, tidak mengikuti ritual dan keprcayaan agama yang dikunjungi.

 

d.     Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara menjunjung tinggi ajaran agama, maka pariwisata sangat terbuka untuk dikembangkan selama tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama. Pariwisata dapat menjadi media penumbuhan kesadaran, keimanan dan ketaqwaan serta mencapai nilai-nilai kehidupan yang luhur dan tinggi. Untuk maksud tersebut, maka diperlukan perhatian yang proporsional dalam hubungan agama dan kepariwisataan. Dan hal ini merupakan keharusan bagi Indonesia yang mempunyai falsafah hidup berbangsa bernegara berdasarkan Pancasila yang pada sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.[35]

Nilai-nilai Pancasila perlu diimplementasikan dalam pengelolaan objek wisata agar tercipta situasi yang lebih kondusip dalam upaya mempererat persaudaraan dan persatuan antar umat beragama. Pancasila memayungi semua agama yang diakui di Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila seharusnya dijabarkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pengaturan wisata religi untuk mempererat persatuan bangsa.

 

Kesimpulan

Pengaturan objek wisata religi di Sulawesi Selatan belum diorientasikan untuk perekat persatuan antar umat beragama. Sementara itu, mayoritas masyarakat memandang potensi objek wisata religi beda agama memiliki prospek besar untuk dikembangkan guna menunjang peningkatan ekonomi, membuka lapangan kerja baru dan sekaligus dapat menjadi media upaya dan program mempererat persatuan antar umat beragama.

Pengaturan wisata religi beda agama dalam kajian hukum Islam potensial untuk dilakukan karena merupakan bagian dari hukum muamalah. Pembuatan aturan khusus yang berkaitan dengan pengelolaan objek wisata religi beda agama yang ditangani oleh pemerintah memiliki fungsi ganda, selain untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi, juga untuk meningkatkan jumlah pengunjung, memberikan jaminan perlindungan hak untuk mendapatkan akses tetap menjaga ajaran agama masing-masing, menghilangkan keraguan terjadinya penyimpangan tujuan, dan mempererat persatuan antar umat beragama.

Konsep yang dapat dilakukan dalam menata objek wisata religi beda agama adalah pembuatan aturan yang mengintegrasikan pengaturan untuk kepentingan ekonomi dan pengaturan untuk kepentingan pembinaan antar umat beragama berlandaskan Pancasila dan ajaran agama.

 

Daftar Pustaka

Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, Juz 1, (Beirut; Daar al-Fikr, 1437)

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, Juz 6 (Cet.VI; Semarang: PT.CV.Toha Putra, 1992)

Alwafi Ridho Subarkah, “Diplomasi Pariwisata Halal Nusa Tenggara Barat”,  Intermestic: Journal of International Studies, e-ISSN.2503-443X Volume 2, No. 2, Mei 2018 (188-203) doi:10.24198/intermestic.v2n2.6

Anita Medhekar, Farooq Haq, “Development of Spiritual Tourism Circuits: The Case of India”, Journal on Business Review (GBR), Vol 2, No 2, 2012

Emmanuel O. Okon, “Socio-Economic Assessment of Religious Tourism in Nigeria”, International Journal of Islamic Business & Management, Vol 2 No 1, 2018

Fachrir Rahman, Patuq dalam Tradisi Kematian Masyarakat Desa Kuta (Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum Islam)”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 3 No. 2. Juli-Desember 2019

Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169 (P); 2527-8150 (E)

Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169 (P); 2527-8150 (E)

Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin, “Study of Sociological Law on Conflict Resolution Through Adat in Aceh Community According to Islamic Law” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 2. July-December 2020

https://islam.nu.or.id/post/read/111156/ulama-4-mazhab-soal-hukum-memasuki-tempat-ibadah-non-muslim, diakses tanggal 26 November 2020

https://muslim.or.id/28408-fatwa-ulama-hukum-rekreasi-ke-tempat-peribadatan-kaum-musyrikin.html, diakses tanggal 26 November 2020

I Gusti Agung Riza Dwi Kusuma dan Ida Ayu Suryasih, “Aktivitas Wisata Spiritual Dan Motivasi Berwisata Di Daya Tarik Wisata Tanah Lot Kabupaten Tabanan”, Jurnal Destinasi Pariwisata, Vol. 4 No 2, 2016

Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz 8, (Qahirah; Darr al-Ilmi, 1438)

Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, Juz 4, (Libanon; Maktabah Dahlan, 1439)

Ida Bagus Wika Krishna, Kajian Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner Dalam Pembangunan Puja Mandala, Karayasiswa Doktoral (S3) Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Iskandar Usman, Revitalizing the Role and Function of the Mosque as a Centerfor Da'wah Activities and Community Development” , Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020

Ismail, Ahmad Munawar, and Wan Kamal Mujani. "Themes and issues in research on interfaith and inter-religious dialogue in Malaysia." Advances in Natural and Applied Sciences, vol. 6, no. 6, 2012

Johar Arifin, “Wawasan Al-Qur’an dan Sunnah tentang Pariwisata”, Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015)

Kiran A. Shinde,  "Religious tourism and religious tolerance: insights from pilgrimage sites in India", Journal Tourism Review, Vol. 70 No. 3, 2015, https://doi.org/10.1108/TR-10-2013-0056

Kiran A. Shinde, “Entrepreneurship and indigenous enterpreneurs in religious tourism in India” International Journal of Tourism Research, 04 August 2010, https://doi.org/10.1002/jtr.771

Kurmanaliyeva, at.all, “Religious Tourism as a Sociocultural Phenomenon of the Present The Unique Sense Today is a Universal Value Tomorrow”, Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 143, 14 August 2014

Matina Terzidou, CarolineScarles, dan Mark N.K. Saunders, “The complexities of religious tourism motivations: Sacred places, vows and visions”, Journal Annals of Tourism Research, Volume 70, May 2018

Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, Juz 1 (Beirut; Daar al-Kutub, 1432 H)

Muhammad Nizar dan Antin Rakhmawati, “Tinjauan Wisata Halal Prespektif Maqosidus Syariah Terkait Fatwa Dsn Mui Dsn-Mui No. 08 Tahun 2016”, Jurnal Istiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis, Vol.6 / No.1: 95-113 Januari 2020, ISSN: 2599-3348 (online) ISSN: 2460-0083 (cetak)

Mursyid Djawas dan Sri Astuti A. Samad, Conflict, Traditional, and Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese Community According to Islamic Law”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020

Nigel Bond, Jan Packer, dan Roy Ballantyne, “Exploring Visitor Experiences, Activities and Benefits at Three Religious Tourism Sites”, International Journal of Tourism Research, First published: 30 July 2014, https://doi.org/10.1002/jtr.2014

Olsen, Daniel H., “A Scalar Comparison of Motivations and Expectations of Experience within the Religious Tourism Market,” The International Journal of Religious Tourism and Pilgrimage, Volume: 1, Issue: 1, 2013

Pedersen, dan Kusumita P, “The Interfaith Movement: An Incomplete Assessment”, Journal of Ecumenical Studies, Vol. 41, Issue 1, 2004

Phinemo.com/patung-yesus-tertinggi-di-dunia-terletak-di-tana-toraja-indonesia/,diakses pada tanggal 11 November 2020

Rahardi Mahardika, “Strategi Pemasaran Wisata Halal”, Mutawasith Jurnal Hukum Islam, Vol. 1 Tahun 2019

Reza Pahlevi, “Dakwah Kultural Bayt al-Qur’an al-Akbar Ukiran Kayu Khas Melayu Palembang”, Jurnal Intizar, Vol. 22, No. 1, 2016

Sri Mulyani Wahono, “Penanaman Cinta Tanah Air Melalui Wisata Budaya Dengan Mengunjungi Museum Jawa Tengah Ronggowarsito”, Jurnal Gema Wisata, Vol 16, No 1, 2020

Yuniati Fransisca dan Albert Kurniawan, “Stimulasi Keputusan Pembelian Produk Wisata Halal Pada Konsumen Wisatawan Domestik Dengan Menggunakan Model Komunikasi Pemasaran AIDA: Sebuah Tinjauan Pustaka”, Prosiding: The National Conferences Management and Business (NCMAB), ISSN: 2621 – 1572, 2018

Yuniati Fransisca,Factors Affecting The Purchasing Decision Of The Millennial Muslim Generation: A Review Of Personality Destination, Brand Attractiveness, And Brand Awareness”, Jurnal MBIA p-ISSN 2086-5090, e-ISSN: 2655-8262 Vol. 18, No. 2, Agustus 2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BIODATA

 

Nama                          : Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.

Tempat/ Tgl. Lahir     : Bone, 5 Maret 1973

Pangkat Fungsional    : Profesor/ Guru Besar Ilmu Hukum Islam

Pangkat/Gol.               : Pembina Utama Madya/ IV/d

Jabatan                        : Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Islam

                           IAIN Bone

Mata Kuliah Binaan   : Fikih Muamalah

Pendidikan                  : SDN No. 010 Benteng, INHIL-RIAU 1986

                                      SMP PGRI Benteng, INHIL-RIAU 1989

                                      MA DDI Benteng, INHIL-RIAU 1992

                                      S1 STAIN Watampone 1998

                                      S2 IAIN Alauddin Makassar 2003

                                      S3 UIN Alauddin Makassar 2010

Alamat                        : Jl. MT. Haryono Lorong 1 Watampone

Ayah                           : Hasan Basri Daeng Marala

Ibu                               : Cakka

Saudara                       : 1. Wahidah

                                      2. Aisyah

                                      3. Syamsul Bahri, S.HI.

                                   (Abdulahanaa adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara)

Istri                              : Mardhaniah, S.Ag., S.Hum., M.Si.

Anak                           : 1. Muhammad Yusuf Raihan (19 Juni 2004)

                                      2. Muhammad Muflih Hamid (4 Maret 2006)

                                      3. Muhammad Sahal Faqih (31 Maret 2008)

                         

 

 

 

Kegiatan Ilmiah Yang Pernah Diikuti Antara Lain;

1.     Pemakalah pada Temu Riset Nasional Departemen Agama RI 2004 di Palembang;

2.     Pemakalah Temu Riset Nasional Kementerian Agama RI 2011 di Bandung;

3.     Lomba Karya Ilmiah Dosen Nasional di STAIN Purwokerto 2013 (Juara 2);

4.     Presenter Konferensi Internasional ICONSITECH 2018;

5.     Presenter Konferensi Internasional IC-Halal-UMI 2020;

6.     Presenter Konferensi Internasional SICOIFL-UIN Ar-Raniry Aceh 2021.

7.     Presenter Konferensi Internasional INCONCES IAIN Bone 2022

8.     Reviewer Jurnal STABILITY Universitas PGRI Semarang

9.     Reviewer Nasional Penelitian LITABDIMAS

Buku-Buku Yang Telah Ditulis:

1.     Kaidah-Kaidah Keabsahan Multi Akad (Hybrid Contract) (Buku ISBN: 978-602-1904-91-6, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta: 2014)

2.     Hukum Islam Dinamis (Buku ISBN: 978-602-19049-8-5, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta: 2015)

3.     Membumikan Prinsip-Prinsip Perdagangan Nabi Muhammad Saw (Buku ISBN: 978-602-1568-59-0, Penerbit Gaung Persada Press, Jakarta: 2016)

4.     Mengatasi Korupsi dengan Asas Pembuktian Terbalik (Buku ISBN: 978-602-5599-06-4, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta: 2018)

5.     Kaidah-Kaidah Keabsahan Multi Akad (Hybrid Contract) dan Desain Kontrak Ekonomi Syariah (Buku ISBN: 978-602-5599-31-6, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta: 2020)

6.     Subjek Hukum Dalam Kajian Fikih Muamalah Dan Hukum Positif (Buku ISBN: 978-623-7212-98-0, Penerbit Lintas Nalar, Yogyakarta: 2021).

7.     Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Rekonsiliasi Community Living Perspektif Fikih Muamalah Dan Hukum Positif (Buku ISBN: 978-623-5517-14-8, Penerbit Lintas Nalar, Yogyakarta: 2022)

8.     Dasar-Dasar Pengembangan Fiqh Muamalah (Landasan Hukum Ekonomi Islam) (Buku ISBN: 978-623-8008-14-8, Penerbit Mata Kata Inspirasi: Anggota IKAPI, Yogyakarta, 2022)

 

Artikel Jurnal Yang Telah Ditulis Dalam Tiga (3) Tahun Terakhir (2020-2022)

A.    Jurnal Internasional (1)

Judul Artikel Jurnal

:

Synergy Sharia Banking And Sharia Cooperation In Farmer Economic Empowerment After Change Function Of Agricultural Lands

Penulis

:

Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.

Nama Jurnal

:

International Journal of Scientific & Technology Research

Penerbit

:

International Journal of Scientific & Technology Research

ISSN

:

ISSN: 2277-8616

Edisi

:

Vol.  9 - Issue 2 February 2020

Akreditasi

:

Jurnal Internasional Terindeks Scopus (Q3, Sjr 2019: 0,2)

B.    Jurnal Internasional (2)

Judul Artikel Jurnal

:

A Review of Islamic Economic Law on Religious Tourism Arragements in South Sulawesi

Penulis

:

Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.

Nama Jurnal

:

Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam

Penerbit

:

Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia

ISSN

:

ISSN: 2549-3132; E-ISSN: 2549-3167

Edisi

:

Volume 5  No.1, January-June 2021

Akreditasi

:

Jurnal Internasional Terindeks Scopus (Sinta 1)

 

C.    Jurnal Internasional (3)

Judul Artikel Jurnal

:

Redesigning Shariah Bank Financing Contracts Policy Based on The Principle of Intention in The Study of Islamic Economic Jurisprudence (Muamalah Jurisprudence)

Penulis

:

Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.

Nama Jurnal

:

Review of International Geographical Education, ISSN: 2146-0353, Vol. 11, No. 10, 2021

Penerbit

:

Eyup Artvinli, Institute of Education in Eskisehir Osmangazi University, Turkey

ISSN

:

ISSN: 2146-0353

Edisi

:

Volume 11,  No.10, Desember 2021

Akreditasi

:

Jurnal Internasional Terindeks Scopus (SJR 0,22)

D.    Jurnal Internasional (4)

Judul Artikel Jurnal

:

The Covid-19 Pandemic And Its Impact On The Yields Of Sharia Stock Business Portfolio In Indonesia

Penulis

:

Husain Insawan, Abdulahanaa, Otong Karyono C, Ida Farida

Nama Jurnal

:

International Journal of Professional, ISSN: 2525-3654, Vol. 7, No. 6, 2022

Penerbit

:

Eyup Artvinli, Institute of Education in Eskisehir Osmangazi University, Turkey

ISSN

:

ISSN: 2525-3654

Edisi

:

Volume 7,  No.6, Desember 2022

Akreditasi

:

Jurnal Internasional Terindeks Scopus (SJR 0,155)

 

E.    Jurnal Nasional (1)

JudulArtikelJurnal

:

The Concept of "Mabbalu Nabi" Among Traders of Bugis Bone: an Analysis of The Motives and Its Relevance to The Principles of The Prophet's Trade

Penulis

:

Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.

Nama Jurnal

:

Jurnal Al-Ulum

Penerbit

:

LPPM IAIN Sultan Amai Gorontalo

ISSN

:

ISSN 2442-8213

Edisi

:

Volume 20 Number 2 December 2020

Akreditasi

:

Sinta 2

F.    Jurnal Nasional (2)

JudulArtikelJurnal

:

Justice of a Husband who Performs Polygamy in Classic, Contemporary, and Indonesian Perspectives

Penulis

:

Abdulahanaa dan Ruslan DMT

Nama Jurnal

:

Jurnal Al-Bayyinah

Penerbit

:

Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone

ISSN

:

ISSN 1979-7486

Edisi

:

Volume 6 Number 2 Juli-December 2022

Akreditasi

:

Sinta 4

 

Prestasi yang Pernah Dicapai:

1.     Lulusan terbaik Madrasah Aliyah DDI Benteng 1992

2.     Lulusan terbaik Sarjana S1 STAIN Watampone 1998

3.     Lulusan tercepat Program Doktor (S3) Konsentrasi Hukum Islam UIN Alauddin 2010

4.     Juara II Lomba Karya Ilmiah Dosen Nasional di STAIN Purwokerto 2013

Penghargaan yang Telah Diperoleh

1.     Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya satya X tahun

2.     Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya satya XX tahun

Pengalaman Jabatan

1.     Wakil Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STAIN Watampone 2014-2017

2.     Wakil Ketua 2 Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan STAIN Watampone 2017-2018

3.     Wakil Rektor 2 Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan IAIN Bone 2019-2022

4.     Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone 2022-Sekarang

 




[1] Phinemo.com/ patung- yesus-tertinggi- di-dunia -terletak -di- tana-toraja-indonesia/, diakses pada tanggal 11 November 2020

[2] Observasi dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2020, di Makale, Tana Toraja Utara

[5]Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, Juz 1 (Beirut; Daar al-Kutub, 1432 H), h. 380

[6]Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz 8, (Qahirah; Darr al-Ilmi, 1438), h. 374.

[7] Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, Juz 1, (Beirut; Daar al-Fikr, 1437), h. 383

[8]Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, Juz 4, (Libanon; Maktabah Dahlan, 1439), h. 168-169

[9] Rianto Sofyan (Sofyan Corporation), Jawaban atas pertanyaan peneliti pada The 2nd International Conference on Halal Issue, Policy, and Sustainabilit/y 2020 (IC-HalalUMI2020), 27 November 2020.

[10] Suyitno, Perencanaan Wisata, (Cet. IV; Yogyakarta: Kanisius, 2011), h. 5-8

[11] Peter Mason, Tourism: Environment and Development Perspectives (WWF United Kingdom. Eastbourne: Manor Park Press Ltd., 1990), h. 14

[12] Yuniati Fransisca dan Albert Kurniawan, Stimulasi Keputusan Pembelian Produk Wisata Halal Pada Konsumen Wisatawan Domestik Dengan Menggunakan Model Komunikasi Pemasaran AIDA: Sebuah Tinjauan Pustaka, Prosiding: The National Conferences Management and Business (NCMAB) ISSN: 2621 – 1572, 2018, h. 341

[13]Alwafi Ridho Subarkah, “Diplomasi Pariwisata Halal Nusa Tenggara Barat”,  Intermestic: Journal of International Studies, e-ISSN.2503-443X Volume 2, No. 2, Mei 2018 (188-203) doi:10.24198/intermestic.v2n2.6,  h. 190

[14] I Gusti Agung Riza Dwi Kusuma dan Ida Ayu Suryasih, “Aktivitas Wisata Spiritual Dan Motivasi Berwisata Di Daya Tarik Wisata Tanah Lot Kabupaten Tabanan”, Jurnal Destinasi Pariwisata, Vol. 4 No 2, 2016, h. 119

[15] Kiran A. Shinde,  "Religious tourism and religious tolerance: insights from pilgrimage sites in India", Journal Tourism Review, Vol. 70 No. 3, 2015, https://doi.org/10.1108/TR-10-2013-0056, h. 194-196

[16] Pedersen, dan Kusumita P, “The Interfaith Movement: An Incomplete Assessment”, Journal of Ecumenical Studies, Vol. 41, Issue 1, 2004, h. 74

[17] Ismail, Ahmad Munawar, and Wan Kamal Mujani. "Themes and issues in research on interfaith and inter-religious dialogue in Malaysia." Advances in Natural and Applied Sciences, vol. 6, no. 6, 2012, h. 1001

[18]Anita Medhekar, Farooq Haq, “Development of Spiritual Tourism Circuits: The Case of India”, Journal on Business Review (GBR), Vol 2, No 2, 2012, h.212

[19] Kurmanaliyeva, at.all, “Religious Tourism as a Sociocultural Phenomenon of the Present The Unique Sense Today is a Universal Value Tomorrow”, Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 143, 14 August 2014, h. 958

[20] Emmanuel O. Okon, “Socio-Economic Assessment of Religious Tourism in Nigeria”, International Journal of Islamic Business & Management, Vol 2 No 1, 2018, h. 1

[21] Ida Bagus Wika Krishna, Kajian Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner Dalam Pembangunan Puja Mandala, Karayasiswa Doktoral (S3) Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia, h. 48

[22] Reza Pahlevi, “Dakwah Kultural Bayt al-Qur’an al-Akbar Ukiran Kayu Khas Melayu Palembang”, Jurnal Intizar, Vol. 22, No. 1, 2016, h. 192

[23]Muhammad Nizar dan Antin Rakhmawati, “Tinjauan Wisata Halal Prespektif Maqosidus Syariah Terkait Fatwa Dsn Mui Dsn-Mui No. 08 Tahun 2016”, Jurnal Istiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis, Vol.6 / No.1: 95-113 Januari 2020, ISSN: 2599-3348 (online) ISSN: 2460-0083 (cetak), h. 109

[24] Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169 (P); 2527-8150 (E), h. 74 - 75

[25] Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal ...., h. 74 - 75

[26] Dr. H. Lukman Arake, Lc., MA., Ketua I MUI Kabupaten Bone dan Dosen IAIN Bone, Wawancara di Watampone, Tanggal 16 Februari 2021

[27] Mursyid Djawas dan Sri Astuti A. Samad, Conflict, Traditional, and Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese Community According to Islamic Law”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020, h. 77

[28] Fachrir Rahman, Patuq dalam Tradisi Kematian Masyarakat Desa Kuta (Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum Islam)”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 3 No. 2. Juli-Desember 2019, h. 346

 

[29] Johar Arifin, “Wawasan Al-Qur’an dan Sunnah tentang Pariwisata”, Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015), h. 157

[30] Johar Arifin,...h. 158-159

[31] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, Juz 6 (Cet.VI; Semarang: PT.CV.Toha Putra, 1992), h. 17

[32] Johar Arifin,...h. 159

[33] Iskandar Usman, Revitalizing the Role and Function of the Mosque as a Centerfor Da'wah Activities and Community Development”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020, h. 22

[34] Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin, “Study of Sociological Law on Conflict Resolution Through Adat in Aceh Community According to Islamic Law” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 2. July-December 2020, h. 359

[35] Johar Arifin,...h. 160