Pidato
PENGUKUHAN GURU BESAR
Bidang Ilmu Hukum
Islam
Pada Fakultas Syariah dan
Hukum Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone
PENGEMBANGAN WISATA RELIGI BEDA AGAMA
UNTUK PEREKAT PERSATUAN ANTAR UMAT BERAGAMA
DI INDONESIA (Analisis Destinasi Wisata di Sulawesi Selatan
dengan Pendekatan Hukum Islam)
Watampone, 26
Desember 2022
Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag.,M.HI.
Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag.,M.HI. dan Istri
(Mardhaniah,S.Ag.,S.Hum.,M.Si)
Yang saya hormati
dan saya muliakan:
1. Rektor/Ketua Senat IAIN Bone
2. Sekretaris Senat dan Para Anggota Senat
3. Para Guru Besar
4.
Para Wakil
Rektor
5. Para Dekan dan Wakil Dekan
6. Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana
6. Kepala Biro, Kabag, dan Kasubag
7. Para Ketua Lembaga dan Kepala Unit
8. Para Dosen dan
Tenaga Kependidikan
9. Para Mahasiswa
10. Para Tamu Undangan, Bapak, Ibu hadirin dan hadhirat, serta handai taulan yang berbahagia.
Assalammu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Kita semua sebagai umat beragama yang meyakini akan
kemurahan dan kebesaran-Nya, marilah bersama-sama memanjatkan puji syukur kehadirat-Nya atas limpahan rahmat,
karunia dan berkah dalam kehidupan
kita, sehingga kita dapat dipertemukan di tempat ini dalam suasana yang sungguh membahagiakan.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
saya sampaikan kepada Rektor/Ketua
Senat IAIN Bone, yang telah
memberikan kepercayaan dan kehormatan kepada saya untuk
menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam dalam Rapat Senat
Terbuka ini. Kesempatan ini juga merupakan pemenuhan kewajiban
yang harus saya laksanakan
untuk menjadi seorang Guru Besar
dalam ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam.
Hadirin
yang saya muliakan,
Perkenankanlah saya
menyampaikan pidato yang berjudul:
PENGEMBANGAN WISATA RELIGI BEDA AGAMA UNTUK PEREKAT PERSATUAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Analisis Destinasi Wisata di Sulawesi Selatan dengan Pendekatan Hukum Islam)
Pendahuluan
Tempat-tempat
wisata berbasis religi (keagamaan) sejak dulu digemari para pengunjung baik
turis lokal maupun turis manca negara. Indonesia memiliki warisan dan peninggalan
situs-situs yang potensial untuk dikembangkan bukan hanya dari aspek
pelestarian nilai-nilai budaya lokal dan aspek pembukaan lapangan kerja bagi
warga masyarakat setempat, melainkan juga aspek-aspek lain seperti politik,
pendidikan, dan hukum. Namun demikian, selama ini, kelihatnnya konsentrasi
pemerintah dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan tempat-tempat wisata
religi lebih fokus pada aspek pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi
masyarakat. Aspek-aspek lain masih kurang mendapat kajian dan penanganan.
Saat ini
bangsa Indonesia menghadapi tantangan disintegrasi yang cukup kuat akibat
perkembangan teknologi informasi yang membuat setiap orang begitu cepat dapat
mengakses dan menyebarkan informasi-informasi yang dapat memicu ketegangan
antar kelompok masyarakat dan antar umat beragama. Isu-isu sara yang
dipublikasi di media sosial sangat mudah memancing dan memprovokasi kelompok
masyarakat dan umat beragama yang berbeda.
Untuk
mengatasi terjadinya disorientasi isu-isu sara yang berpotensi menimbulkan
distoleransi dan disintegrasi antar umat beragama, maka pemerintah bersama
masyarakat perlu menggunakan segala potensi yang ada guna merawat dan
mengokohkan orientasi kerukunan dan persatuan antar umat bergama sebagai
landasan terciptanya situasi yang kondusif bagi pembangunan bangsa.
Indonesia
memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata religi baik yang merupakan warisan
sejarah, maupun yang merupakan pembangunan kawasan baru untuk memberi ruang
kepada masyarakat melakukan rekreasi dan relaksasi guna melepas lelah dan
kebosanan dari aktifitas sehari-hari. Sudah merupakan kebutuhan psikis bagi
masyarakat untuk malakukan kunjungan wisata guna mengimbangi kejenuhan agar
kesehatan ruhani dapat terjaga dan seimbang.
Khusus
di Sulawesi Selatan, geliat pembangunan tempat-tempat wisata bernuansa religi
beberapa tahun terakhir di beberapa kabupaten menunjukkan trend meningkat.
Pengunjung yang datang juga cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahawa
masyarakat membutuhkan
tempat rekreasi/wisata yang sekaligus memiliki nuansa keagamaan.
Fenomena menarik yang
terjadi di tempat-tempat wisata religi adalah ternyata pengunjungnya bukan
hanya dari masyarakat satu agama yang terkait langsung dengan agamanya,
melainkan juga banyak diminati dari masyarakat yang berbeda agama. Hal ini
menjadi potensi besar untuk dikelola dengan konsep wisata perekat keakraban,
pengenalan, dan pembiasaan berbaur antar umat beragama yang berbeda sebagai
prasyarat terciptanya kerukunan dan persatuan antar umat beragama.
Sebagai contoh tempat
wisata budaya berbasis religi di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara.
Pengujung datang dari berbagai daerah bahkan manca negara dengan suku, agama,
dan warna kulit yang berbeda-beda. Pertemuan masyarakat yang berbeda-beda suku
dan agama di tempat-tempat wisata religi menunjukkan adanya kesiapan para pihak
yang berbeda untuk saling mempererat solidaritas dan bekerjasama dalam pelaksanaan
berbagai kegiatan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan bersama.
Salah satu objek wisata
yang relatif baru di Tana Toraja adalah “Patung Yesus Memberkati” yang dibangun
di atas gunung Buntu Burake Kota Makale pada Bulan Mei 2015 atas inisiatif Gubernur
Sulawesi Selatan yang menggunakan dana sebanyak 22 Milyar. Meskipun tempat
wisata “Patung Yesus Memberkati” ini merupakan simbol budaya agama Nasrani, namun yang
berkunjung di tempat ini tidak hanya umat Nasrani saja.[1]
Berdasarkan hasil
observasi langsung di tempat wisata “Patung Yesus Memberkati”, peneliti melihat
keramahan dan toleransi masyarakat setempat terhadap pengunjung yang kebetulan
pada saat dilakukan observasi banyak yang beragama Islam dengan simbol
identitas jilbab yang dikenakan. Mereka menyiapkan jasa ojek motor khusus untuk
pengunjung muslimah yang drivernya juga wanita berjilbab.[2]
Namun demikian, kajian
dari aspek hukum ekonomi syariah terkait kegiatan wisata religi beda agama
ternyata terdapat pro-kontra di kalangan ahli hukum Islam dalam menilai
kebolehannya. Antaralain, menurut fatwa Syaikh Abdurrahman
bin Nashir Al-Barrak, tempat peribadatan orang kafir tidak terlepas dari
pemandangan-pemandangan yang merupakan praktek kesyirikan, baik berupa
perkataan, perbuatan, dan simbol-simbol seperti gambar-gambar syirik dan juga
patung berhala. Maka tidak boleh masuk ke sana dalam rangka sekedar
melihat-lihat dan jalan-jalan. Karena semua ini termasuk az zuur yang
disebutkan dalam firman Allah Swt QS. Al-Furqan: 72 dan QS. Al-Hajj: 30-31. Maka
wajib bagi seorang Muslim untuk bertaqwa kepada Allah dan mencukupkan diri
untuk melakukan rekreasi dan wisata pada perkara-perkara yang Allah
bolehkan. Itu sangat cukup dan banyak sehingga tidak butuh pada sarana
rekreasi yang haram. Inilah yang membedakan seorang Muslim dengan pemeluk agama
lain dan ini juga akan semakin mengokohkan predikat Islam pada dirinya.[3]
Akan
tetapi, jika ditelaah literatur kitab-kitab fiqih klasik maka akan didapati
bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang Muslim memasuki
tempat-tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja, wihara, dan sinagog.[4] Ulama
mazhab Hanafi menyatakan, hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah
makruh. Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ‘Ala al-Durr al-Mukhtar
menyebutkan: يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي
الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. "Bagi seorang Muslim, memasuki
sinagog dan gereja hukumnya makruh."[5] Senada
dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitabnya Al-Bahru
al-Ra’iq Syarh Kanz al-Daqaiq menegaskan: يُكْرَهُ
لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا تَحْرِيمِيَّةٌ. “Bagi seorang
Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan tampaknya, hal itu
adalah makruh tahrim (mendekati haram)”.[6]
Mayoritas ulama, meliputi ulama mazhab Maliki,
Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan, seorang Muslim boleh
memasuki tempat ibadah non-Muslim. Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus
Sami’ Al-Abi Al-Azhari menuturkan: أَيْ مَعْبَدُهَا
كَنِيْسَةً أَوْ بِيْعَةً، وَلِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ دُخُوْلُهُ مَعَهَا “Yaitu tempat ibadah istrinya, baik berupa
gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah
istri) bersama istrinya.”[7] Ulama
bermazhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi juga menuliskan dalam
kitabnya al-Bayan wa al-Tahshil:
وَرَوَى
ابْنُ الْقَاسِمِ أَنَّ مَالِكًا سُئِلَ عَنْ أَعْيَادِ الْكَنَائِسِ فَيَجْتَمِعُ
الْمُسْلِمُونَ يَحْمِلُونَ إلَيْهَا الثِّيَابَ وَالْأَمْتِعَةَ وَغَيْرَ ذَلِكَ يَبِيعُونَ
يَبْتَغُونَ الْفَضْلَ فِيهَا. قَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ.
"Ibnu
Qasim bercerita, imam Malik ditanya tentang perayaan di gereja, di mana umat
Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan barang-barang lain menuju
gereja untuk menjualnya di sana. Beliau berkata: Hal itu tidak apa-apa."[8]
Secara
konseptual wisata religi beda agama kontra produktif dengan wisata halal
(wisata syariah) yang sedang berkembang. Dalam konsep wisata halal, umat Islam
diorientasikan untuk hanya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang terkait
dengan budaya, sejarah, dan warisan Islam, serta menerapkan prinsip Islam dalam
pelayanan dan fasilitas yang disediakan.
Jika non muslim berkunjung tempat-tempat wisata religi
Islam, berupa masjid bersejarah maka dalam hal ini juga terdapat perbedaan
pandangan dikalangan ulama, sebagian ulama memberikan batasan-batasan yang
boleh dimasuki. Terlepas dari adanya perbedaan itu, menurut Rianto Sofyan (owner Sofyan
Corporation/Hotel Syariah) non muslim dibolehkan mengunjungi tempat-tempat
wisata religi muslim. Mereka boleh datang ke masjid bersejarah atau masjid yang memiliki keunikan untuk
melihatnya. Hal ini baik untuk memperkenalkan Islam kepada mereka,
sebagai media dakwah dan untuk mempererat persaudaraan, dengan harapan semoga
mereka diberi hidayah.[9]
Oleh karena itu, menjadi
penting untuk dilakukan kajian penelitian yang mempertemukan kajian legalitas
teoritis konseptual berdasarkan pendapat para ahli hukum Islam dan data
empirik di lapangan. Hal ini dibutuhkan sebagai solusi mengatasi
perbedaan pandangan yang cenderung polemik dan untuk melahirkan konsep yang moderat di antara dua pandangan yang
kontradiktif.
Urgensi penelitian ini
adalah untuk menemukan formulasi konsep wisata religi beda agama yang dapat
diaplikasikan untuk mencegah terjadinya orientasi konprontatif dalam
pengelolaan dan pengembangan wisata halal dengan wisata religi yang dapat
menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa/masyarakat. Hasil
penelitian akan menemukan konsep
pengaturan yang dapat menjadi solusi
dalam mengatasi mispersepsi dan misorientasi akibat eksklusifisme agama terhadap
wisata religi beda agama dan hal ini merupakan prasyarat untuk membangun
harmoni kehidupan antar umat beragama dalam manajemen pengelolaan destinasi wisata religi
yang inklusif.
Metode
penelitian yang digunakan untuk mengkaji masalah ini adalah dengan melakukan
penelitian lapangan. Data dikumpulkan menggunakan angket dan wawancara. Temuan
penelitian dianalisis menggunakan pendekatan hukum ekonomi Islam (fikih
muamalah) agar menghasilkan konsep pengaturan objek wisata religi yang lebih
produktif dan berfungsi ganda.
Pengertian
Wisata dan Pariwisata
Secara etimologi, wisata merupakan padanan kata
tour (dalam bahasa Inggris), tour berasal dari kata torah (bahasa
Ibrani) yang berarti belajar, tormus (bahasa Latin) yang berarti alat
untuk membuat lingkaran, dan dalam bahasa Prancis kuno disebut tour yang
berarti mengelilingi sirkuit. Walaupun dalam bahasa Sansekerta istilah wisata
memiliki pengertian yang sama dengan perjalanan, namun karena perjalanan telah
memiliki pengertian yang jelas, maka kata wisata cukup diserap sebagai padanan
kata tour tersebut. Sedangkan bila ditinjau secara terminologi wisata
diartikan sebagai sebuah perjalanan yang terencana, dimana seseorang dalam
perjalanannya singgah sementara di beberapa tempat dan akhirnya kembali lagi ke
tempat asal di mana ia mulai melakaukan perjalanan. [10]
Berdasarkan
Undang-undang RI Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, “Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”
(Pasal 1 ayat [1]).
Sedangkan
“Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah” (Pasal 1 ayat [3]).
Menurut
Mason Pariwisata adalah perpindahan sementara ke tempat-tempat
tujuan selain tempat kerja dan tempat tinggal, kegiatan-kegiatan tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu sesuai dengan tujuan dilakukannya
wisata.[11]
Pengertian Wisata Religi
Untuk memahami pengertian “wisata religi” dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi tujuan dilakukannya perjalanan
oleh wisatawan dan dari segi tempat, objek, atau destinasi yang dituju.
Berdasarkan tujuan wisatawan melakukan perjalanan, maka wisata religi bermakna
wisata yang dilakukan dengan tujuan melaksanakan ritual keagamaan. Dalam
pengertian ini maknanya meliputi wisata ziarah dan wisata ibadah, misalnya
wisata dengan tujuan untuk melaksanakan umrah. Wisata ini sifatnya homogen,
dilakukan oleh satu kelompok penganut agama tertentu saja, seperti wisata umrah.
Sedangkan berdasarkan tempat, objek, atau
destinasi yang dituju, wisata religi berarti mengunjungi suatu tempat yang
berafiliasi dengan keyakinan dan budaya agama tertentu yang sifatnya
dikultuskan, dikeramatkan, atau merupakan tempat ibadah ritual. Dalam
pengertian ini maknanya meliputi wisata ke candi, masjid tua, tempat atau
bangunan bersejarah yang dikultuskan penganut agama tertentu. Wisata
ini sifatnya heterogen atau
plural, dilakukan oleh berbagai macam penganut agama, misalnya wisata candi
Borobudur di Jawa Tengah atau ke patung Yesus memberkati di Toraja Utara. Pada
penelitian ini, pengertian wisata religi yang dimaksudkan adalah berdasarkan
tempat, objek, atau destinasi yang dituju, yang umumnya disebut wisata religi.
Perbedaan Wisata Religi dengan Wisata Halal Dan
Wisata Spiritual.
Konsep wisata religi berbeda dengan wisata
halal dan wisata spiritual. Wisata religi berkaitan dengan tempat-tempat ritual
dan budaya agama tertentu, misalnya dalam Islam mengunjungi masjid dan tempat-tempat
bersejarah. Wisata halal adalah konsep baru dalam industri wisata, berkaitan
dengan liburan yang aktivitasnya disesuaikan dengan ajaran Islam dalam
pemenuhan kebutuhan dan permintaan dari wisatawan muslim. Fasilitas dan jasa
layanan yang disiapkan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan agama, sehingga
semua yang dilarang dalam agama dihindari dalam konsep wisata halal, seperti
tidak ada minuman keras, kolam renang dan spa laki-laki dan perempuan terpisah.[12]
Meskipun demikian, sarana dan pelayanan pariwisata halal terbuka untuk
masyarakat umum termasuk yang bukan beragama Islam, karena fasilitas yang
disiapkan berkenaan dengan makanan dan minuman berlabel halal, pelayanan
restoran dan hotel halal, dan petugas hotel juga menerapkan ketentuan-ketentuan
syariah.[13]
Sedangkan wisata spiritual (spiritual
tourism) adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan untuk melakukan ritual
spiritual, misalnya dengan melakukan meditasi, sehingga disebut juga
dengan meditation tourism. Wisatawan spiritual mengunjungi suatu tempat,
umumnya pura untuk melakukan kegiatan meditasi. Menurut klasifikasi umum, spiritual
tourism atau meditasi tourism dapat dimasukkan sebagai salah satu
bentuk culture tourism, karena unsur budayanya sangat kental.[14]
Wisata dan Toleransi
Kiran A. Shinde, merumuskan teori dari hasil penelitiannya yang berjudul "Religious Tourism and Religious Tolerance: Insights from Pilgrimage Sites in India", bahwa masing-masing situs wisata religi memberikan kesempatan yang berbeda bagi pengunjung dari agama lain untuk lebih memahami aspek agama dan budaya. Ditemukan bahwa toleransi dalam sekte Hindu dan non-Hindu dari agama lain adalah tercipta dari fungsi dari keterlibatan mereka yang berbeda agama dalam pertunjukan budaya dan partisipasi mereka dalam ekonomi pariwisata religi di situs-situs ziarah.[15] Teori ini menunjukkan adanya relevansi antara kegiatan wisata religi yang melibatkan penganut agama yang berbeda dengan pembinaan toleransi dan persatuan bangsa.
Sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Kiran A. Shinde, Pedersen, dan Kusumita P. menyimpulkan dari hasil penelitiannya
bahwa keadaan terkini diperlukan upaya dan gerakan lintas agama secara
terorganisir di seluruh dunia untuk menciptakan pemahaman dan kerja sama yang
lebih baik antara dan di antara komunitas agama yang berbeda. Konflik
antar agama sering muncul karena "penilaian yang tidak lengkap", karena hanya
ada sedikit data yang dikumpulkan secara sistematis di bidang ini. Ini
memberikan gambaran pentingnya melakukan upaya saling memahami secara
komprehensip antar
pemeluk agama yang muncul dalam program
antaragama untuk mengatasi dampak “eksklusivisme dan pencarian spiritualitas"
salahsatunya dapat dilakukan dengan kegiatan wisata religi yang terbuka untuk
semua pemeluk agama.[16]
Ismail, Ahmad Munawar, dan Wan Kamal Mujani mengemukakan bahwa mempelajari jalan ke depan untuk membahas wacana antaragama dan pengaruhnya terhadap integrasi nasional merupakan kebutuhan mendesak akan platform bersama yang memungkinkan dialog antaragama dan saling pengertian. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika menyusun program untuk mempromosikan pemahaman dan kerukunan antaragama mencakup pentingnya memastikan bahwa perbedaan teologis tidak merusak tujuan nasional dalam membangun masyarakat yang kohesif (kompak).[17] Kekompakan untuk salin toleran dalam pengelolaan dan pemberian kesempatan dalam situs wisata religi menjadi media membangun visi yang sama untuk meningkatkan solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan.
Anita Medhekar dan Farooq Haq menyebutkan bahwa Krisis keuangan global akibat covid-19 telah menyebabkan banyak industri raksasa jatuh. Dengan runtuhnya ekonomi di seluruh dunia, peningkatan spiritualitas dan hal-hal terkait telah diamati. Perpaduan keduanya melahirkan produk baru yang dinamakan wisata spiritual. Produk ini inklusif tidak seperti wisata religi dan ziarah yang cenderung eksklusif. Banyak negara yang menawarkan wisata religi dan ziarah berjuang keras untuk mengubah produknya menjadi pariwisata berbasis multi keyakinan. Misalnya India mendesain ulang pariwisatanya dan menghadirkan citra multi-keyakinan atau tujuan wisata spiritual. Pariwisata berbasis agama selama ini diperkenalkan oleh Pemerintah India yang dinilai menggunakan pendekatan sempit dan eksklusif. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan, pariwisata spiritual sedang dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata India dalam rencana lima tahun ke-12, tidak hanya untuk pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan, tetapi juga untuk mempromosikan India sebagai tujuan wisata spiritual multi agama (inklusif).[18]
Kurmanaliyeva memandang bahwa wisata religi memiliki ciri sosial budaya yang begitu penting, seperti praktik sosial, mengubah manusia dan memposisikannya dalam ruang sosial. Karenanya wisata religi memiliki semacam potensi sosio-kultural yang dapat mempengaruhi keadaan motivasi seseorang, yang memiliki kebutuhan akan benda budaya dan religi yang dibutuhkan untuk eksistensi ideologis spiritual. Kekhususan kesadaran nilai orang modern, serta karakteristik status sosial, budaya dan ekonomi dari berbagai kelompok sosial menentukan berbagai motif wisata, yang berpengaruh signifikan terhadap pilihan aktivitas wisata dengan identitas tertentu.[19]
Emmanuel O. Okon menemukan dari hasil penelitiannya bahwa bermunculannya Gereja-Gereja Pantekosta yang berbeda di Nigeria dan berbagai konvensi dan festival yang diadakan setiap tahun dan setiap tiga bulan oleh gereja-gereja telah meningkatkan jumlah kedatangan dari negara-negara luar negeri yang mengunjungi negara tersebut untuk menghadiri berbagai program keagamaan. Ini telah menciptakan lapangan kerja bagi penduduk di daerah tersebut. Sehingga pariwisata religi telah menjadi penghasil devisa tertinggi bagi industri pariwisata negara tersebut meskipun industri pariwisata masih dalam tahap awal dan belum mengambil posisi yang signifikan dalam pengelolaan pendapatan negara Nigeria. Direkomendasikan bahwa industri perhotelan harus meningkatkan fasilitasnya, pemerintah harus membangun atau meningkatkan jalan berstandar internasional yang menuju ke kota-kota besar dan daerah pedesaan dan perlu menyediakan fasilitas dasar di tujuan pariwisata. Di tingkat pemerintah daerah, inventarisasi semua lokasi wisata dan festival di berbagai daerah harus dipublikasikan agar situs wisata tersebut menjadi pusat perhatian. Semua komunitas agama harus mendidik ulama mereka tentang perlunya kerukunan umat beragama dan toleransi terhadap agama lain dalam pemanfaatan objek wisata religi.[20]
Perbedaan agama yang
diperkuat oleh adanya perbedaan strata sosial dari aspek kekayaan (ekonomi),
aspek kekuasaan dan wewenang (politik), aspek kehormatan, dan aspek ilmu
pengetahuan beresiko memicu terjadinya konflik sosial di negara yang
multikultur seperti Indonesia, sehingga diperlukan upaya untuk
mengantisipasinya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah
melalui konsep wisata religi seperti yang sudah diterapkan di kawasan Nusa Dua
Kabupaten Bandung Bali dengan konsep Puja Mandala. Konsep ini diprakarsai oleh
pemerintah dengan membangun kawasan wisata religi terpadu di satu kawasan untuk
lima agama yang ada di Indonesia. Masing-masing agama mendapatkan 0.5 Hektar
tanah untuk dibagun tempat ibadah bagi pengunjung yang datang dari berbagai
daerah.[21]
Sentralisasi kawasan wisata religi multi agama bertujuan untuk memupuk
solidaritas, toleransi dan persatuan.
Wisata religi terkait erat dengan aspek
estetika, yaitu karya seni yang memuat nilai keindahan yang tinggi. Melalui
wisata religi, karya seni dikomunikasi secara nonverbal yaitu dengan cara
diperlihatkan, dalam hal ini mengandung pesan dakwah simbolik misalnya melalui
lambang-lambang yang terbuka untuk ditafsirkan oleh siapapun secara subjektif.
Sehingga ada potensi tidak semua orang mencintai atau memberikan apresiasi
positif.[22] Oleh
karena itu, perlu dilakukan upaya yang terprogram untuk memberikan arahan agar
penafsiran positif yang menunjang peningkatan persaudaraan dan persatuan lebih
dominan.
Sebab itu, dalam kajian hukum ekonomi
(muamalah) berwisata sebagai kebutuhan spiritual, hukumnya dapat meningkat
menjadi kebutuhan primer, tidak lagi sebagai kebutuhan tersier atau kebutuhan
sekunder. Tergantung pada motif (niat) atau tujuan dan cara melakukannya.[23] Oleh
karena itu, program wisata religi perlu diorientasikan secara konseptual untuk
peningkatan solidaritas dan persatuan, disosialisasikan dan dipromosikan secara
berkesinambungan.
Fahadil Amin Al Hasan menguraikan bahwa Dalam
Fatwa DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Parawisata Berdasarkan Prinsip
Syariah menetapkan aturannya melalui tiga (3) garis besar ketetapan, yaitu hal
yang berkait ikhtiyarnya sebagai destinasi wisata halal, kewajiban yang harus
dipenuhinya sebagai destinasi wisata halal, dan hal-hal yang harus dihindari
sebagai destinasi wisata halal. Dari ketetapan yang berhubungan dengan
ikhtiyarnya sebagai destinasi wisata halal, terdapat beberapa poin yang perlu
dikritisi, yaitu terkait dengan keharusannya menghormati nilai-nilai
sosial-budaya dan kearifan lokal yang tidak melanggar prinsip syariah. Klausul
yang terdapat pada ketentuan ini sangat ambigu karena dibatasi oleh kalimat
“yang tidak melanggar prinsip syariah”. Apabila ketentuan tersebut tidak
dijelaskan secara rinci, maka dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi bahwa
setiap wisatawan boleh tidak menghormati sosial-budaya yang bertentangan dengan
prinsip syariah. Padahal, kebudayaan yang terdapat di Indonesia tidak hanya
bersumber dari budaya Islam, akan tetapi beragam. Sehingga, satu sama lainnya
harus saling menghormati walaupun berbeda agama dan kepercayaan.[24]
Oleh karena itu ketetapan
ini terlihat bersinggungan dengan ketetapan lain yang terdapat pada ketentuan
yang sama, yaitu klausul yang menjelaskan bahwa parawisata halal wajib
diarahkan pada ikhtiar untuk mewujudkan kebaikan yang bersifat universal dan
inklusif. Pada ketentuan selanjutnya dijelaskan bahwa pada destinasi wisata
halal harus memiliki fasilitas ibadah yang layak pakai, mudah dijangkau, dan
memenuhi persyaratan syariah. Ketentuan ini pun harus juga dijelaskan secara
rinci, apa dan bagaimana kriteria fasilitas ibadah yang memenuhi persyaratan
syariah yang dimaksud pada fatwa ini. Selain itu, di ketentuan terakhir
dijelaskan bahwa destinasi wisata wajib terhindar dari kemusyikan dan khurafat,
serta pertunjukan seni, budaya, dan atraksi yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah. Dua ketetapan ini perlu diperjelas dan dibatasi secara
rinci bagian apa saja yang termasuk pada kemusyrikan, khurafat, serta
pertunjukan yang bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini perlu dijelaskan
dalam fatwa ini mengingat banyaknya destinasi wisata yang berhubungan dengan
budaya-budaya non-Islam, seperti wisata ke berbagai candi di Indonesia,
perunukan budaya di Bali, dan lain sebagainya.[25]
Pengaturan Wisata
Religi pada Objek Wisata Sulawesi Selatan
Berdasarkan
data hasil angket masyarakat berpendapat bahwa keberadaan objek wisata religi di
suatu daerah berperan dalam membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sebanyak 54,8 % informan menjawab sangat berperan, 41,9 % menjawab berperan, dan 3,3 % menjawab kurang berperan.
Oleh
karena itu, menurut masyarakat objek wisata religi dapat dikembangkan fungsinya menjadi
multi fungsi, tidak hanya dari aspek tempat rekreasi dan ekonomi, melainkan
juga dapat dikembangkan untuk pembinaan keagamaan dan media mempererat tali
persaudaraan sesama anak bangsa. Terhadap potensi pengembangan multi fungsi
situs wisata religi jawabab informan adalah sangat dapat 48,4 %, dapat 45,2 %, dan kurang dapat 6,4 %.
Potensi
pengembangan fungsi objek/situs
wisata relegi yang perlu mendapat perhatian adalah untuk dijadikan media guna membina dan meningkatkan persaudaraan antar umat
beragama. Hal ini ditanggapi oleh informan dengan jawaban sangat dapat 45,2 %, dapat 51,6 %, dan kurang dapat 3,2 %.
Oleh
karena itu, untuk mendukung pengembangan fungsi objek wisata religi agar dapat
memainkan peran yang lebih luas utamanya untuk dijadikan media perekat
persaudaraan dan persatuan antar umat beragama, maka menjadi mutlak diperlukan
adanya regulasi tersendiri. 100% informan menyatakan bahwa objek wisata religi perlu penataan dan pengaturan
tersendiri agar lebih berfungsi sebagai media perekat persatuan bangsa (sangat perlu 41,9 %, perlu 58,1 %).
Berdasarkan
hasil survey dan wawancara di sejumlah tempat wisata di Sulawesi Selatan,
ditemukan data bahwa saat ini regulasi yang dibuat oleh pemerintah daerah
terkait manajemen tempat-tempat wisata yang ada di daerah adalah berkenaan
dengan tata tertib pengunjung, tanggungjawab pengelolaan dan distribusi
pendapatan. Belum ada regulasi khusus yang diterbitkan dalam rangka mendorong
fungsi tempat wisata menjadi sarana mempererat solidaritas dan persatuan antar
umat beragama. Sementara itu, sejumlah tokoh agama dan masyarakat memandang
perlu ke depan dibuat pengaturan (regulasi) khusus untuk mengembangkan fungsi
objek wisata menjadi sarana pemersatu.
Pengadaan aturan khusus
pariwisata secara umum dan wisata religi secara khusus untuk
dijadiken media meneguhkan persaudaraan dan kesatuan antar umat beragama di
Indonesia merupakan
implementasi
dari Undang-undang Dasar 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa:
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Juga
merupakan implementasi dari Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Pasal 4 yang
menyebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa;
dan
j. mempererat persahabatan antarbangsa.
Yang sangat relevan dengan kajian ini adalah
pada Pasal 4 huruf h dan i, yang menegaskan
bahwa tujuan dilaksanakannya pembangunan pariwisata adalah untuk “memupuk rasa cinta tanah air
dan memperkukuh jati diri dan kesatuan
bangsa”. Selain itu juga disebutkan pada Pasal 5 Undang-undang
Kepariwisataan bahwa:
Kepariwisataan
diselenggarakan dengan prinsip:
a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang
Maha Esa, hubungan
antara manusia dan sesama manusia,
dan hubungan antara
manusia dan lingkungan;
b. menjunjung
tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e. memberdayakan masyarakat setempat;
f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan
satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan
kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata;
dan
h. memperkukuh keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010 – 2025 Pasal 2 Ayat (8) huruf d menyebutkan bahwa:
“Arah pembangunan kepariwisataan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e adalah pembangunan kepariwisataan
nasional dilaksanakan secara terpadu secara lintas sektor, lintas daerah, dan
lintas pelaku”.
Namun
demikian, pengembangan fungsi pariwisata sebagai media perekat pesatuan bangsa
sebagai salah satu sektor yang seharusnya dipadukan dengan sektor lain belum
mendapat perhatian yang proporsional. Hal ini terbukti dengan tidak
dilibatkannya kementerian agama RI dalam tim yang diberi tugas membuat Rencana
Induk Pengembangan (RIP) dan Integrated Tourism Master Plan
Kepariwisataan Indonesia dalam Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua PP No.64 Tahun 2014 tentang Koordinasi Strategis Lintas
Sektor Penyelenggaraan Kepariwisata-an.
Meskipun
demikian, keterlibatan peran tokoh-tokoh agama dalam membuat konsep/desain
pariwisata religi yang berfungsi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat
agar memahami pentingnya toleransi, solidaritas, dan persatuan antar umat
beragama sebagai pondasi memperkokoh NKRI melalui kegiatan pertunjukan kesenian
atau melalui kegiatan kearifan lokal yang diintegrasikan di kawasan wisata
religi masih dapat dilakukan melalui peraturan daerah (peraturan gubernur atau
peraturan bupati).
Otonomi
daerah potensial bagi kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat untuk
membuat konsep dan regulasi guna menjadikan sarana wisata memiliki fungsi ganda
dan lintas sektor. Terbuka peluang bagi daerah kabupaten dan kota untuk
berlomba untuk menunjukkan kreativitasnya membuat dan menerapkan konsep
pariwisata religi yang terintegrasi dengan upaya penyadaran masyarakat
pengunjung untuk lebih menghayati pentingnya memahami ajaran dan keyakinan
agama lain untuk meningkatkan persatuan sesama anak bangsa.
Pandangan
Masyarakat di Sekitar Lokasi Wisata dan Tokoh Agama Terhadap Wisata Religi Beda
Agama.
Mayoritas
masyarakat memandang bahwa keberadaan
objek wisata religi di daerahnya sangat dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja. 38,7%
informan mengatakan sangat
dibutuhkan, 51,6 % mengatakan dibutuhkan, dan hanya 9,7% mengatakan kurang dibutuhkan. Sehingga pemerintah daerah perlu memprioritaskan pembangunan objek wisata religi di
daerahnya guna meningkatkan PAD sekaligus menjadi perekat persatuan antar umat
beragama. 90,4% informan
mengatakan perlu menjadi prioritas, kurang perlu 6,4 %, dan tidak perlu 3,2
%.
Konsep
wisata religi yang potensial dikembangkan di suatu daerah adalah objek wisata
yang terintegrasi dengan program penguatan ketahanan bangsa. Oleh karena itu, objek wisata religi agama tertentu seharusnya membuka
diri untuk menerima pengunjung dari penganut agama lain agar terjalin
solidaritas untuk mempererat persatuan. 35,5% informan mengatakan hal ini sangat perlu, 61,3 % mengatakan perlu, dan 3,2%
mengatakan kurang perlu. Disamping itu, objek wisata religi beda agama perlu disosialisasikan dan
diporomosikan tersendiri untuk dijadikan media perekat persatuan bangsa. 48,4 % informan mengatakan sangat perlu, 48,4% mengatakan perlu, dan 3,2 % kurang perlu.
Berdasarkan
data hasil wawancara dari sejumlah tokoh agama, ulama dan akademisi, diperoleh
data bahwa pada dasarnya mereka memberikan pandangan yang sama tentang perlunya
dilakukan revitalisasi pemahaman agama dalam upaya menangkal radikalisme dan
intoleran yang akhir-akhir ini semakin menguat. Saat ini peran tokok-tokoh
agama sangat diperlukan dalam rangka peningkatan solidaritas dan persatuan
sebagai warga negara Indonesia. Segala upaya perlu dilakukan untuk mengimbangai
semakin derasnya arus pemikiran yang berpotensi menimbulkan disintegrasi dengan
memanfaatkan perbedaan agama untuk mengadudomba masyarakat.
Rasulullah Saw bergaul dan bermuamalah dengan non muslim,
ajaran Islam menganjurkan agar memelihara hubungan baik dengan komunitas
penganut agama lain, dilarang mengganggu atau merusak tempat-tempat ibadah
mereka, bahkan bekerjasama dan tolong-menolong dalam menjaga stabilitas
keamanan wilayah dan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan. Hal
ini dilakukan sebagai perwujudan dari solidaritas (ukhuwah) sesama warga yang berdomisili di
daerah yang sama. [26]
Melakukan
kegiatan muamalah dengan non muslim dibolehkan dalam Islam. Sepanjang tidak
berkaitan dengan masalah akidah, ibadah ritual
dan ajaran prinsip dalam Islam, maka dibolehkan bekerjasama dengan non
muslim dalam rangka menciptakan stabilitas politik,
ekonomi, pendidikan, keamanan dan lain-lain untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan
data dari informan dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang menjadi titiktolak
penilaian terhadap kunjungan ke objek wisata religi agama lain adalah maslahat
dan mudaratnya. Informan yang lebih fokus melihat potensi mudaratnya bagi
pengunjung sendiri cenderung memilih tidak menganjurkan berkunjung ke tempat
tersebut dan lebih mengutamakan memilih destinasi yang dapat dipastikan aman
dan sejalan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, informan yang lebih fokus melihat
potensi maslahatnya cenderung tidak membeda-bedakan dan tidak menetapkan skala
prioritas, sepenuhnya tergantung pada pilihan wisatawan dengan catatan tentu
disesuaikan dengan niat dan tujuan yang tidak melenceng dari ajaran agama
Islam.
Rumusan
Konsep Wisata Religi Beda Agama Untuk Perekat Persatuan Bangsa dalam Kajian
Hukum Ekonomi Islam (Muamalah).
100% informan
menyatakan bahwa mengunjungi objek/situs wisata religi agama
lain tidak merusak atau melemahkan komitmen terhadap agamanya sendiri. Data ini menunjukkan tidak adanya
dampak negatif terhadap pelemahan keyakinan pada agama sendiri. Bahkan
sebaliknya seringnya berkunjung ke objek/situs wisata
religi agama lain semakin meningkatkan keyakinan kepada agama sendiri
(96,7% jawabab informan), selebihnya hanya 3,3% yang menyatakan tidak meningkatkan keyakinan terhadap agama sendiri.
Disamping itu, seringnya berkunjung ke objek/situs wisata religi agama
lain berdampak pada terbukanya pengetahuan/wawasan akan perlunya solidaritas
dan toleransi antar umat beragama (96,8% jawaban informan), sisanya
hanya 3,2% yang menyatakan kurang berdampak pada terbukanya wawasan untuk
meningkatkan solidaritas dan toleransi. Sehingga 80,7% informan menyatakan saling terbuka untuk saling mengunjungi tempat-tempat
wisata religi beda agama merupakan kegiatan penting dalam meningkatkan
persaudaraan dan persatuan antar umat beragama, dan hanya
19,4% yang menyatakan kurang penting.
Dalam kajian
hukum ekonomi Islam (fikih muamalah) tentang konsep wisata religi beda agama
untuk perekat persatuan bangsa berdasarkan data dan pembahasan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a.
Pengaturan
wisata religi beda agama merupakan bagian dari hukum muamalah.
Semasa
hidupnya, Rasulullah Saw melakukan interaksi sosial (bermuamalah) dengan non
muslim, baik dengan orang kafir, musyrik, Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya.
Rasulullah saw melakukan transaksi dan kerjasama dalam berbagai bidang
muamalah, hubungan bisnis, hidup bertetangga, keamanan dan politik. Hubungan
tersebut lebih karena ada keterkaitan sosial sebagai sesama manusia. Dalam
konteks ini, Rasulullah Saw tetap menjaga toleransi yang berkaitan dengan
keyakinan dan pelaksanaan ibadah ritual. Rasulullah tetap memberikan kesempatan
kepada non muslim untuk menjalankan ibadah ritual yang mereka yakini, bahkan
Rasulullah Saw melarang menggangu atau merusak rumah ibadah mereka. Interaksi
sosial (habl min al-nas) ini dibangun atas dasar kemaslahatan bersama
dengan batasan sepanjang tidak merusak intreraksi hamba kepada Allah Swt (habl
min Allah). Oleh karena itu, dalam bidang muamalah keterbukaan dan
kerjasama perlu diintensifkan tanpa terhalang oleh perbedaan agama untuk
meningkatkatkan persatuan bangsa sebagai parasyarat tercapainya peningkatan
stabilitas keamanan, ekonomi dan politik.
Dalam bermuamalah hukum
adat dan maslahat
dalam hukum Islam memiliki kaitan yang sangat erat. Adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat muslim dibenarkan oleh hukum Islam sepanjang tidak bertentang dengan syariat, tentunya dengan memakai pendekatan maslahat.[27] Sehingga dalam pengaturan
wisata religi perlu mensinergikan dua sumber norma tersebut agar masyarakat
menjalankan dan memelihara agama dan adat sekaligus karena tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan
dalam kehidupan masyarakat.[28]
b.
Pengaturan
wisata religi beda agama dapat meningkatkan maslahat dan mengurangi mudharat.
Adanya
pengaturan mekanisme pengelolaan dan manajemen objek wisata religi dapat
meningkatkan manfaat yang diperoleh sekaligus mengurangi potensi mudarat
(dampak buruk). Pengelolaan objek wisata religi yang kurang diatur atau tidak
didukung oleh sejumlah regulasi yang diperlukan dapat menjadi kendala untuk
meningkatkan manfaat yang potensial diperoleh.
Pengaturan yang
diperlukan adalah terkait dengan upaya meningkatkan capaian materil dan non
materil. Manfaat materil meliputi terbukanya lapangan kerja di berbagai sektor,
peningkatan ekonomi dan sarana-prasarana yang dinikmati oleh masyarakat.
Manfaat non materil meliputi konsep pengelolaan dan manajemen yang disiapkan
untuk memberikan pembinaan secara audio visual maupun melalui tulisan yang
berisi pesan-pesan untuk menanamkan kesadaran toleransi dan arahan-arahan yang
bertujuan untuk tetap menjaga ajaran agama masing-masing. Pemerintah daerah dan
dinas pariwisata dapat menyiapkan sejumlah konsep yang dikolaborasikan dengan
pemanfaatan tempat-tempat strategis pada objek wisata religi yang berisi
himbauan untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan tangungjawab bersama menjaga
dan merawat nilai-nilai persaudaraan dan persatuan antar umat beragama dalam
menghadapi persaingan dan tantangan global. Misalnya pemerintah membuat program
menjadikan objek wisata religi sebagai ajang pertemuan tokoh-tokoh agama
beserta masyarakat umum untuk melakukan dialog langsung dalam rangka saling
berbagi pengetahuan untuk lebih mengenal antar agama. Program ini dilakukan
secara berkala dan terjadwal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk informasi
penelitian dan tugas-tugas ilmiah lainnya.
Dalam wisata jalin
silaturahmi yang dianjurkan oleh Islam sebagai media yang memberikan kebaikan,
membuka rezeki, membersihkan jiwa, dan mendapat keberkahan hidup, sehingga
Pemerintah Daerah dapat meningkatkan potensi wisata rohani, seperti kunjungan
ke rumah ibadah, wisata alam, tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.[29]
Pengelolan pariwisata
dalam konteks dunia modern pada hari ini kiranya dapat memadukan atau
mengkombinasikan antara penerapan manajemen modern dengan prinsip-prinsip
ajaran agama dengan batasan-batasan;
1) tujuannya diarahkan untuk
memperkokoh iman dan memupuk akhlak,
2) sarana dan prasarana
pariwisata dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah (peringatan atau himbauan
yang religius pada tempat-tempat tertentu atau membuat brosur-brosur yang berisi
penjelasan yang bernuansa agama),
3) pengelolaan objek-objek
wisata tidak merubah apalagi merusak fungsi-fungsi alam dan ekosistem,
4) menyediakan fasilitas
publik, sehingga kenyamanan wisatawan terjamin sedemikian rupa.[30]
c.
Adanya
pengaturan menghilangkan kekhawatiran
Dalam
Al-Qur’an ditemukan sejumlah ayat yang dapat dijadikan dasar perlunya kegiatan
wisata sebagai media mempererat persaudaraan dan persatuan antarumat beragama
sebagai prasyarat mengokohkan persatuan bangsa. Antaralain QS.al-Ankabut [29]: 20;
ö@è% (#rçÅ Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#ø2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yã nor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇËÉÈ
Terjemahnya: Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam QS
al-An’am [6]: 108
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Yy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÉÑÈ
Terjemahnya: Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Syekh
al-Maraghi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa al-Qur’an melarang umat
muslim menghina sesembahan dan simbol agama lain dikarenakan hal tersebut
adalah perbuatan sia-sia, tidak manfaat dan juga mencegah sesuatu yang tidak
diinginkan. Oleh karenanya, segala bentuk penghinaan atau menyinggung agama
lain di luar Islam tidak dibenarkan.[31]
Pengelola
wisata harus menyediakan fasilitas
publik, sehingga kenyamanan dan keamanan wisatawan terjamin, wisatawan tidak
merasa takut dan khawatir meninggalkan kewajiban seperti shalat atau merasa takut
terpaksa melanggar larangan seperti makanan yang tidak jelas haram-halalnya.[32] Penyediaan fasilitas tersebut merupakan realisasi
pengutamaan kepentingan umum. Dalam Islam, kepentingan masyarakat banyak diutamakan dari kepentingan
pribadi dan kelompok.[33]
Sosiologi hukum mendudukkan hukum
sebagai alat dan sarana untuk mengontrol dan membangun masyarakat ke arah yang
lebih baik. Hukum agama dan hukum
adat merupakan dua sumber norma yang dapat saling menguatkan dalam penyelesaian
konflik yang terjadi di masyarakat dengan
mekanisme adat.[34] Oleh karena itu,
objek-objek wisata yang bernuasa budaya adat dan agama lokal memerlukan
pengaturan khusus untuk memberikan kepastian dan keamanan bagi pengunjung dari
aspek agama dan sosial, sekaligus menghilangkan alasan pelarangan sebagian
ulama yang menganggap kedatangan seorang muslim di tempat wisata non-muslim
sebagai bentuk pelanggaran terhadap ajaran Islam karena tempat tersebut
terdapat kepercayaan dan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan ajaran
Islam, sehingga kedatangan seorang muslim di tempat tersebut setidaknya
dianggap mendukung kemungkaran tersebut. Hal ini dapat dihilangkan dengan
adanya regulasi yang menegaskan maksud dan tujuan digalakkannya kunjungan
wisata religi beda agama adalah untuk kemaslahatan yang sejalan dengan ajaran
Islam dan regulasi yang menegaskan batasan-batasan yang harus dipatuhi agar
pengunjung yang beda agama hanya menyaksikan untuk diketahui, tidak mengikuti
ritual dan keprcayaan agama yang dikunjungi.
d.
Indonesia adalah negara
yang berdasarkan Pancasila
Pancasila sebagai dasar
negara menjunjung tinggi ajaran agama, maka pariwisata
sangat terbuka untuk dikembangkan selama tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama. Pariwisata dapat menjadi media penumbuhan kesadaran, keimanan dan ketaqwaan serta mencapai
nilai-nilai kehidupan
yang luhur dan tinggi. Untuk
maksud tersebut, maka diperlukan perhatian yang proporsional dalam hubungan agama dan
kepariwisataan. Dan hal ini
merupakan keharusan bagi Indonesia yang mempunyai falsafah hidup berbangsa bernegara berdasarkan
Pancasila yang pada
sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.[35]
Nilai-nilai Pancasila perlu diimplementasikan
dalam pengelolaan objek wisata agar tercipta situasi yang lebih kondusip dalam
upaya mempererat persaudaraan dan persatuan antar umat beragama. Pancasila
memayungi semua agama yang diakui di Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila
seharusnya dijabarkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pengaturan
wisata religi untuk mempererat persatuan bangsa.
Kesimpulan
Pengaturan objek wisata religi di Sulawesi
Selatan belum diorientasikan untuk perekat persatuan antar umat beragama.
Sementara itu, mayoritas masyarakat memandang potensi objek wisata religi beda
agama memiliki prospek besar untuk dikembangkan guna menunjang peningkatan
ekonomi, membuka lapangan kerja baru dan sekaligus dapat menjadi media upaya
dan program mempererat persatuan antar umat beragama.
Pengaturan wisata religi beda agama dalam
kajian hukum Islam potensial untuk dilakukan karena merupakan bagian dari hukum
muamalah. Pembuatan aturan khusus yang berkaitan dengan pengelolaan objek
wisata religi beda agama yang ditangani oleh pemerintah memiliki fungsi ganda,
selain untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi, juga untuk meningkatkan
jumlah pengunjung, memberikan jaminan perlindungan hak untuk mendapatkan akses
tetap menjaga ajaran agama masing-masing, menghilangkan keraguan terjadinya
penyimpangan tujuan, dan mempererat persatuan antar umat beragama.
Konsep yang dapat dilakukan dalam menata objek
wisata religi beda agama adalah pembuatan aturan yang mengintegrasikan
pengaturan untuk kepentingan ekonomi dan pengaturan untuk kepentingan pembinaan
antar umat beragama berlandaskan Pancasila dan ajaran agama.
Daftar Pustaka
Abdus Sami’
Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, Juz 1, (Beirut; Daar al-Fikr, 1437)
Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj: Bahrun Abu Bakar, Juz 6 (Cet.VI;
Semarang: PT.CV.Toha Putra, 1992)
Alwafi
Ridho Subarkah, “Diplomasi
Pariwisata Halal Nusa Tenggara Barat”, Intermestic: Journal of International
Studies, e-ISSN.2503-443X
Volume 2, No. 2, Mei 2018 (188-203) doi:10.24198/intermestic.v2n2.6
Anita Medhekar, Farooq Haq, “Development of Spiritual Tourism Circuits: The Case of
India”, Journal on Business Review (GBR), Vol
2, No 2, 2012
Emmanuel O. Okon, “Socio-Economic Assessment of Religious Tourism in Nigeria”, International
Journal of Islamic Business & Management, Vol
2 No 1, 2018
Fachrir
Rahman, “Patuq dalam
Tradisi Kematian Masyarakat Desa Kuta (Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum Islam)”, Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 3 No. 2. Juli-Desember 2019
Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan
Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal Ilmu Syari'ah dan
Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169 (P); 2527-8150
(E)
Fahadil Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan
Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal
Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169
(P); 2527-8150 (E)
Fajri M.
Kasim dan Abidin
Nurdin, “Study
of Sociological Law on Conflict Resolution Through Adat in Aceh
Community According to Islamic Law” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum
Islam, Volume 4 No. 2. July-December 2020
https://islam.nu.or.id/post/read/111156/ulama-4-mazhab-soal-hukum-memasuki-tempat-ibadah-non-muslim,
diakses tanggal 26 November 2020
https://muslim.or.id/28408-fatwa-ulama-hukum-rekreasi-ke-tempat-peribadatan-kaum-musyrikin.html,
diakses tanggal 26 November 2020
I Gusti Agung Riza Dwi Kusuma dan Ida Ayu
Suryasih, “Aktivitas Wisata Spiritual Dan Motivasi Berwisata Di Daya Tarik
Wisata Tanah Lot Kabupaten Tabanan”, Jurnal Destinasi Pariwisata, Vol. 4
No 2, 2016
Ibnu
Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz 8, (Qahirah;
Darr al-Ilmi, 1438)
Ibnu
Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, Juz 4, (Libanon; Maktabah
Dahlan, 1439)
Ida Bagus Wika Krishna, Kajian Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner
Dalam Pembangunan Puja Mandala, Karayasiswa
Doktoral (S3) Program Pascasarjana Universitas Hindu
Indonesia
Iskandar
Usman, “Revitalizing
the Role and Function of the Mosque as a Centerfor Da'wah Activities and
Community Development” , Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020
Ismail,
Ahmad Munawar, and Wan Kamal Mujani. "Themes and issues in research on
interfaith and inter-religious dialogue in Malaysia." Advances in
Natural and Applied Sciences, vol. 6, no. 6, 2012
Johar Arifin, “Wawasan
Al-Qur’an dan Sunnah tentang Pariwisata”, Jurnal An-Nur, Vol. 4
No. 2, 2015)
Kiran A.
Shinde, "Religious tourism and religious
tolerance: insights from pilgrimage sites in India", Journal Tourism Review, Vol.
70 No. 3, 2015, https://doi.org/10.1108/TR-10-2013-0056
Kiran A. Shinde,
“Entrepreneurship and indigenous enterpreneurs in religious tourism in India” International
Journal of Tourism Research, 04
August 2010, https://doi.org/10.1002/jtr.771
Kurmanaliyeva,
at.all, “Religious Tourism as a Sociocultural Phenomenon
of the Present The Unique Sense Today is a Universal Value Tomorrow”, Procedia - Social
and Behavioral Sciences, Volume 143, 14
August 2014
Matina
Terzidou, CarolineScarles, dan Mark N.K. Saunders, “The complexities of religious tourism
motivations: Sacred places, vows and visions”, Journal Annals of Tourism
Research, Volume 70, May 2018
Muhammad
Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, Juz 1 (Beirut; Daar
al-Kutub, 1432 H)
Muhammad Nizar dan Antin Rakhmawati, “Tinjauan
Wisata Halal Prespektif Maqosidus Syariah Terkait Fatwa Dsn Mui Dsn-Mui No. 08
Tahun 2016”, Jurnal Istiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis, Vol.6
/ No.1: 95-113 Januari 2020, ISSN: 2599-3348 (online) ISSN: 2460-0083 (cetak)
Mursyid Djawas dan Sri Astuti A. Samad, “Conflict, Traditional, and Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese
Community According
to Islamic Law”, Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020
Nigel Bond, Jan Packer, dan Roy Ballantyne, “Exploring Visitor Experiences, Activities and
Benefits at Three Religious Tourism Sites”, International Journal of
Tourism Research, First published: 30 July 2014, https://doi.org/10.1002/jtr.2014
Olsen, Daniel H.A Scalar
Comparison of Motivations and Expectations of Experience within the Religious
Tourism Market,” The International
Journal of Religious Tourism and Pilgrimage,
Volume: 1, Issue: 1, 2013
Pedersen, dan Kusumita P, “The Interfaith Movement: An Incomplete
Assessment”, Journal of Ecumenical Studies, Vol. 41, Issue 1,
2004
Phinemo.com/patung-yesus-tertinggi-di-dunia-terletak-di-tana-toraja-indonesia/,diakses
pada tanggal 11 November 2020
Rahardi Mahardika, “Strategi Pemasaran Wisata Halal”, Mutawasith
Jurnal Hukum Islam, Vol. 1 Tahun 2019
Reza Pahlevi, “Dakwah Kultural Bayt al-Qur’an
al-Akbar Ukiran Kayu Khas Melayu Palembang”, Jurnal Intizar, Vol. 22,
No. 1, 2016
Sri Mulyani Wahono, “Penanaman Cinta Tanah Air
Melalui Wisata Budaya Dengan Mengunjungi Museum Jawa Tengah Ronggowarsito”, Jurnal
Gema Wisata, Vol 16, No 1, 2020
Yuniati Fransisca dan Albert Kurniawan,
“Stimulasi Keputusan Pembelian Produk Wisata Halal Pada Konsumen Wisatawan
Domestik Dengan Menggunakan Model Komunikasi Pemasaran AIDA: Sebuah Tinjauan
Pustaka”, Prosiding: The National Conferences Management and Business
(NCMAB), ISSN: 2621 – 1572, 2018
Yuniati Fransisca, “Factors Affecting The Purchasing Decision Of
The Millennial Muslim Generation: A Review Of Personality Destination, Brand
Attractiveness, And Brand Awareness”, Jurnal MBIA p-ISSN 2086-5090, e-ISSN:
2655-8262 Vol. 18, No. 2, Agustus 2019
BIODATA
Nama :
Prof. Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI.
Tempat/ Tgl. Lahir : Bone, 5 Maret 1973
Pangkat Fungsional : Profesor/ Guru Besar Ilmu Hukum Islam
Pangkat/Gol. :
Pembina Utama Madya/ IV/d
Jabatan :
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Islam
IAIN Bone
Mata Kuliah Binaan : Fikih Muamalah
Pendidikan :
SDN No. 010 Benteng, INHIL-RIAU 1986
SMP PGRI Benteng, INHIL-RIAU 1989
MA DDI Benteng, INHIL-RIAU 1992
S1 STAIN Watampone 1998
S2 IAIN Alauddin Makassar 2003
S3 UIN Alauddin Makassar 2010
Alamat :
Jl. MT. Haryono Lorong 1 Watampone
Ayah :
Hasan Basri Daeng Marala
Ibu :
Cakka
Saudara :
1. Wahidah
2. Aisyah
3. Syamsul Bahri, S.HI.
(Abdulahanaa
adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara)
Istri :
Mardhaniah, S.Ag., S.Hum., M.Si.
Anak :
1. Muhammad Yusuf Raihan (19 Juni 2004)
2. Muhammad Muflih Hamid (4 Maret 2006)
3. Muhammad Sahal Faqih (31 Maret 2008)
Kegiatan Ilmiah Yang Pernah Diikuti Antara
Lain;
1. Pemakalah pada Temu Riset Nasional Departemen Agama RI 2004 di
Palembang;
2. Pemakalah Temu Riset Nasional Kementerian Agama RI 2011 di Bandung;
3. Lomba Karya Ilmiah Dosen Nasional di STAIN Purwokerto 2013 (Juara
2);
4. Presenter Konferensi Internasional ICONSITECH 2018;
5. Presenter Konferensi Internasional IC-Halal-UMI 2020;
6. Presenter Konferensi Internasional SICOIFL-UIN Ar-Raniry Aceh 2021.
7. Presenter Konferensi Internasional INCONCES IAIN Bone 2022
8. Reviewer Jurnal STABILITY Universitas PGRI Semarang
9. Reviewer Nasional Penelitian LITABDIMAS
Buku-Buku Yang Telah Ditulis:
1. Kaidah-Kaidah Keabsahan Multi Akad
(Hybrid Contract) (Buku ISBN: 978-602-1904-91-6,
Penerbit TrustMedia, Yogyakarta: 2014)
2. Hukum Islam Dinamis (Buku ISBN: 978-602-19049-8-5, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta:
2015)
3. Membumikan Prinsip-Prinsip
Perdagangan Nabi Muhammad Saw (Buku ISBN:
978-602-1568-59-0, Penerbit Gaung Persada Press, Jakarta: 2016)
4. Mengatasi Korupsi dengan Asas
Pembuktian Terbalik (Buku ISBN: 978-602-5599-06-4, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta:
2018)
5. Kaidah-Kaidah Keabsahan Multi Akad (Hybrid Contract) dan Desain Kontrak Ekonomi Syariah (Buku ISBN: 978-602-5599-31-6, Penerbit TrustMedia, Yogyakarta:
2020)
6. Subjek Hukum
Dalam Kajian Fikih Muamalah Dan Hukum Positif (Buku ISBN: 978-623-7212-98-0, Penerbit
Lintas Nalar, Yogyakarta: 2021).
7.
Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Rekonsiliasi Community Living
Perspektif Fikih Muamalah Dan Hukum Positif (Buku ISBN:
978-623-5517-14-8, Penerbit
Lintas Nalar, Yogyakarta: 2022)
8.
Dasar-Dasar Pengembangan Fiqh Muamalah (Landasan Hukum Ekonomi
Islam) (Buku ISBN: 978-623-8008-14-8,
Penerbit Mata Kata Inspirasi: Anggota IKAPI, Yogyakarta, 2022)
Artikel
Jurnal Yang Telah Ditulis Dalam Tiga (3) Tahun Terakhir (2020-2022)
A.
Jurnal Internasional (1)
Judul Artikel Jurnal |
: |
Synergy Sharia Banking And Sharia Cooperation In
Farmer Economic Empowerment After Change Function Of Agricultural Lands |
Penulis |
: |
Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI. |
Nama Jurnal |
: |
International Journal
of Scientific & Technology Research |
Penerbit |
: |
International Journal
of Scientific & Technology Research |
ISSN |
: |
ISSN: 2277-8616 |
Edisi |
: |
Vol. 9 - Issue 2 February 2020 |
Akreditasi |
: |
Jurnal Internasional Terindeks Scopus (Q3, Sjr 2019: 0,2) |
B.
Jurnal Internasional (2)
Judul Artikel Jurnal |
: |
A Review of Islamic Economic
Law on Religious Tourism Arragements in South Sulawesi |
Penulis |
: |
Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI. |
Nama Jurnal |
: |
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam |
Penerbit |
: |
Islamic Family Law Department, Sharia and Law
Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia |
ISSN |
: |
ISSN: 2549-3132; E-ISSN: 2549-3167 |
Edisi |
: |
Volume 5 No.1, January-June 2021 |
Akreditasi |
: |
Jurnal Internasional Terindeks Scopus (Sinta 1) |
C.
Jurnal Internasional (3)
Judul Artikel Jurnal |
: |
Redesigning
Shariah Bank Financing Contracts Policy Based on The Principle of Intention
in The Study of Islamic Economic Jurisprudence (Muamalah Jurisprudence) |
Penulis |
: |
Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI. |
Nama Jurnal |
: |
Review
of International Geographical Education, ISSN: 2146-0353, Vol. 11, No. 10,
2021 |
Penerbit |
: |
Eyup
Artvinli, Institute of Education in Eskisehir Osmangazi University, Turkey |
ISSN |
: |
ISSN:
2146-0353 |
Edisi |
: |
Volume 11, No.10, Desember 2021 |
Akreditasi |
: |
Jurnal Internasional Terindeks Scopus (SJR 0,22) |
D.
Jurnal Internasional (4)
Judul Artikel Jurnal |
: |
The Covid-19 Pandemic
And Its Impact On The Yields Of Sharia Stock Business Portfolio In Indonesia |
Penulis |
: |
Husain Insawan, Abdulahanaa, Otong Karyono C, Ida
Farida |
Nama Jurnal |
: |
International
Journal of Professional, ISSN: 2525-3654, Vol. 7, No. 6, 2022 |
Penerbit |
: |
Eyup
Artvinli, Institute of Education in Eskisehir Osmangazi University, Turkey |
ISSN |
: |
ISSN: 2525-3654 |
Edisi |
: |
Volume 7, No.6, Desember 2022 |
Akreditasi |
: |
Jurnal Internasional Terindeks Scopus (SJR 0,155) |
E.
Jurnal Nasional (1)
JudulArtikelJurnal |
: |
The Concept of "Mabbalu Nabi" Among Traders of Bugis Bone: an
Analysis of The Motives and Its Relevance to The Principles of The Prophet's
Trade |
Penulis |
: |
Dr. Abdulahanaa, S.Ag., M.HI. |
Nama Jurnal |
: |
Jurnal Al-Ulum |
Penerbit |
: |
LPPM IAIN Sultan Amai
Gorontalo |
ISSN |
: |
ISSN 2442-8213 |
Edisi |
: |
Volume 20 Number 2 December
2020 |
Akreditasi |
: |
Sinta 2 |
F.
Jurnal Nasional (2)
JudulArtikelJurnal |
: |
Justice of a Husband who Performs Polygamy in Classic, Contemporary,
and Indonesian Perspectives |
Penulis |
: |
Abdulahanaa dan Ruslan DMT |
Nama Jurnal |
: |
Jurnal Al-Bayyinah |
Penerbit |
: |
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone |
ISSN |
: |
ISSN 1979-7486 |
Edisi |
: |
Volume 6 Number 2 Juli-December 2022 |
Akreditasi |
: |
Sinta 4 |
Prestasi
yang Pernah Dicapai:
1.
Lulusan
terbaik Madrasah Aliyah DDI Benteng 1992
2.
Lulusan
terbaik Sarjana S1 STAIN Watampone 1998
3.
Lulusan
tercepat Program Doktor (S3) Konsentrasi Hukum Islam UIN Alauddin 2010
4.
Juara
II Lomba Karya Ilmiah Dosen Nasional di STAIN Purwokerto 2013
Penghargaan
yang Telah Diperoleh
1.
Tanda
Kehormatan Satya Lancana Karya satya X tahun
2.
Tanda
Kehormatan Satya Lancana Karya satya XX tahun
Pengalaman Jabatan
1.
Wakil
Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STAIN Watampone 2014-2017
2.
Wakil
Ketua 2 Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan STAIN Watampone
2017-2018
3.
Wakil
Rektor 2 Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan IAIN Bone 2019-2022
4.
Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Bone 2022-Sekarang
[1] Phinemo.com/ patung- yesus-tertinggi- di-dunia -terletak -di- tana-toraja-indonesia/, diakses pada tanggal 11 November
2020
[2] Observasi dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2020, di
Makale, Tana Toraja Utara
[3]https://muslim.or.id/28408-fatwa-ulama-hukum-rekreasi-ke-tempat-peribadatan-kaum-musyrikin.html,
diakses tanggal 26 November 2020
[4] https://islam.nu.or.id/
post/read /111156/ulama -4-mazhab-soal- hukum-memasuki -
tempat-ibadah-non-muslim, diakses tanggal 26 November 2020
[5]Muhammad
Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, Juz 1 (Beirut; Daar
al-Kutub, 1432 H), h. 380
[6]Ibnu
Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz 8, (Qahirah;
Darr al-Ilmi, 1438), h. 374.
[7] Abdus
Sami’ Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, Juz 1, (Beirut; Daar al-Fikr,
1437), h. 383
[8]Ibnu
Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, Juz 4, (Libanon; Maktabah
Dahlan, 1439), h. 168-169
[9] Rianto Sofyan (Sofyan Corporation),
Jawaban atas pertanyaan peneliti pada The 2nd
International Conference on Halal Issue, Policy, and Sustainabilit/y 2020 (IC-HalalUMI2020), 27 November 2020.
[10]
Suyitno, Perencanaan Wisata, (Cet. IV; Yogyakarta: Kanisius, 2011), h.
5-8
[11] Peter
Mason, Tourism: Environment and Development Perspectives (WWF United
Kingdom. Eastbourne: Manor Park Press Ltd., 1990), h. 14
[12] Yuniati
Fransisca dan Albert Kurniawan, Stimulasi Keputusan Pembelian Produk Wisata
Halal Pada Konsumen Wisatawan Domestik Dengan Menggunakan Model Komunikasi
Pemasaran AIDA: Sebuah Tinjauan Pustaka, Prosiding: The National
Conferences Management and Business (NCMAB) ISSN: 2621 – 1572, 2018, h. 341
[13]Alwafi Ridho Subarkah, “Diplomasi Pariwisata Halal Nusa Tenggara Barat”, Intermestic:
Journal of International Studies, e-ISSN.2503-443X Volume 2, No. 2, Mei 2018
(188-203) doi:10.24198/intermestic.v2n2.6, h. 190
[14] I Gusti
Agung Riza Dwi Kusuma dan Ida Ayu Suryasih, “Aktivitas Wisata Spiritual Dan
Motivasi Berwisata Di Daya Tarik Wisata Tanah Lot Kabupaten Tabanan”, Jurnal
Destinasi Pariwisata, Vol. 4 No 2, 2016, h. 119
[15] Kiran
A. Shinde, "Religious tourism and religious
tolerance: insights from pilgrimage sites in India", Journal Tourism Review, Vol.
70 No. 3, 2015, https://doi.org/10.1108/TR-10-2013-0056, h.
194-196
[16] Pedersen, dan Kusumita P, “The
Interfaith Movement: An Incomplete Assessment”, Journal of Ecumenical
Studies, Vol. 41, Issue 1, 2004, h. 74
[17] Ismail,
Ahmad Munawar, and Wan Kamal Mujani. "Themes and issues in research on
interfaith and inter-religious dialogue in Malaysia." Advances in
Natural and Applied Sciences, vol. 6, no. 6, 2012, h. 1001
[18]Anita Medhekar, Farooq Haq, “Development of Spiritual Tourism Circuits: The Case of
India”, Journal on Business Review (GBR), Vol
2, No 2, 2012, h.212
[19] Kurmanaliyeva, at.all, “Religious Tourism as a Sociocultural Phenomenon of the Present
The Unique Sense Today is a Universal Value Tomorrow”, Procedia
- Social and Behavioral Sciences, Volume 143, 14 August 2014, h. 958
[20] Emmanuel O. Okon, “Socio-Economic
Assessment of Religious Tourism in Nigeria”, International Journal of
Islamic Business & Management, Vol
2 No 1, 2018, h. 1
[21] Ida Bagus Wika Krishna, Kajian
Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner Dalam Pembangunan Puja Mandala, Karayasiswa Doktoral (S3) Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia, h. 48
[22] Reza
Pahlevi, “Dakwah Kultural Bayt al-Qur’an al-Akbar Ukiran Kayu Khas Melayu
Palembang”, Jurnal Intizar, Vol. 22, No. 1, 2016, h. 192
[23]Muhammad
Nizar dan Antin Rakhmawati, “Tinjauan Wisata Halal Prespektif Maqosidus Syariah
Terkait Fatwa Dsn Mui Dsn-Mui No. 08 Tahun 2016”, Jurnal Istiqro: Jurnal
Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis, Vol.6 / No.1: 95-113 Januari 2020, ISSN:
2599-3348 (online) ISSN: 2460-0083 (cetak), h. 109
[24] Fahadil
Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa
DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip
Syariah)”, Al-Ahkam, Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2, Nomor 1,
Januari-Juni 2017 ISSN: 2527-8169 (P); 2527-8150 (E), h. 74 - 75
[25] Fahadil
Amin Al Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal ...., h. 74 - 75
[26] Dr. H.
Lukman Arake, Lc., MA., Ketua I MUI Kabupaten Bone dan Dosen IAIN Bone,
Wawancara di Watampone, Tanggal 16 Februari 2021
[27] Mursyid
Djawas dan Sri
Astuti A. Samad, “Conflict, Traditional, and Family Resistance: The pattern of Dispute Resolution in Acehnese
Community According
to Islamic Law”, Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4
No. 1. Januari-Juni 2020, h. 77
[28] Fachrir
Rahman, “Patuq dalam Tradisi Kematian Masyarakat Desa Kuta (Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum Islam)”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 3 No. 2. Juli-Desember 2019, h. 346
[29] Johar Arifin, “Wawasan Al-Qur’an dan Sunnah tentang
Pariwisata”, Jurnal An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015), h. 157
[30] Johar Arifin,...h. 158-159
[31] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Terj:
Bahrun Abu Bakar, Juz 6 (Cet.VI; Semarang: PT.CV.Toha Putra, 1992),
h. 17
[32] Johar Arifin,...h. 159
[33]
Iskandar Usman, “Revitalizing the Role and Function of the
Mosque as a Centerfor Da'wah Activities and Community Development”, Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 1. Januari-Juni 2020, h. 22
[34] Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin, “Study of
Sociological Law on Conflict Resolution Through Adat in Aceh Community
According to Islamic Law” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 4 No. 2. July-December
2020, h. 359
[35] Johar Arifin,...h. 160